Stan Brakhage dan Sinema Mainstream
Dalam mengkaji apapun yang berurusan dengan avant-garde, atau lebih khususnya, sinema avant-garde, satu pertanyaan paling sederhana yang akan terus muncul adalah mengenai apa definisi dari avant-garde itu sendiri. Dalam satu sisi, mungkin pertanyaan ini mudah dijawab dengan kalimat-kalimat textbook, seperti yang diselaraskan Murray Smith (397) dalam artikel Modernism and the avant-gardes, dimana sinema avant-garde didefinisikannya sebagai mode sinema yang lebih ‘artisanal’ atau ‘personal’, memiliki kecenderungan dibuat oleh individu atau kelompok kolaborator yang sangat kecil, dan dibiayai oleh pembuat film itu sendiri atau dari sebuah lembaga seni.. Namun, dalam lain sisi, pertanyaan ini sebetulnya dapat menjadi pertanyaan yang rumit dijawab. Pertanyaan kedua yang sering muncul dan sulit dijawab dalam mengkaji sinema avant-garde adalah bagaimana avant-garde memberi pengaruh terhadap sinema umum (mainstream cinema).
“Avant-garde films are not always easy to define in an all-inclusive manner, but they are typically recognized by cineastes and even average spectators because of their very nature of being “different. (Verrone : 7)”
Di satu sisi, kita dapat mengatakan bahwa avant-garde telah ada sejak awal perfilman. Bahkan dalam sudut pandang yang spesifik, dapat dikatakan bahwa avant-garde sendiri adalah sinema, atau bahkan sinema adalah avant-garde. Hal ini karena secara karakteristiknya, medium sinema dan avant-garde penuh dengan trik-trik visual, dan ilusi-ilusi seperti dissolve, jumpcut, ellipses, close-up, dll dalam sinema.
Terdapat sebuah cerita klasik dalam sejarah sinema awal, bahwa saat penonton film di awal keberadaan sinema melihat shot close-up terpapar dalam layar yang besar, orang-orang keluar berlarian dari bioskop karena rasa takut melihat sesuatu yang benar-benar tidak memiliki tempat dalam imajinasi mereka sebelumnya, yaitu kepala raksasa. di layar. Ketika kita membandingkan cerita ini dengan bagaimana kita mengkonsumsi film sekarang, kita dapat melihat bagaimana kita sebagai penonton film sudah terlalu terbiasa dengan sifat sinema dengan semua keanehannya.
Hal Ini menunjukkan bahwa kita sebagai penonton film telah terbiasa dengan hal-hal aneh saat kita memasukkannya ke dalam kotak normalitas versus keanehan yang pada dasarnya terlalu hitam putih atau biner. kesadaran publik mengenai film-film eksperimental harus lebih terkait dengan apa yang kita sebut naratif film, namun dengan definisi yang lebih cair dan abstrak. Avant-garde dan sinema mainstream telah terlalu tersegmentasi sebagai dua sisi yang berlawanan. Stigma ini menyebabkan banyak pembuat film seperti seperti David Lynch, Claire Denis, dan Lars Von Trier yang membuat film dengan naratif eksperimental tetapi tidak secara alami cocok dengan cetakan filmmaker avant-garde diposisikan di tempat yang canggung di antara dua gaya yang dianggap berlawanan.
Gagasan sinema avant-garde juga menimbulkan pertanyaan tentang nilai sebuah film. Secara historis, film-film avant-garde terkenal atas penentangannya terhadap sinema mainstream dan komersial, yang nilai artistiknya telah disangkal dan dilihat sebagai sesuatu yang dangkal, terlalu sentimental dan melodramatis. Kritik ini terhadap sinema komersial ini kerap merujuk pada kendali artistik filmmaker film komersial yang kerap sangat terbatas serta kepatuhan konsekuen para filmmakernya kepada konvensi dan kedangkalan ideologi yang dituntut oleh khalayak massa (mainstream ideology).
Polarisasi yang terciptakan antar sinema avant-garde dan sinema mainstream terlalu problematis karena bila kita melihat tendensi dasar sinema avant-garde, pembuat film-film eksperimental seringkali berupaya untuk merombak atau mendekonstruksi naratif dari film-film komersial (mainstream) dan untuk melakukan itu, tentu seorang pembuat film avant-garde perlu secara penuh memahami konstruksi dari sebuah film komersil, karena bagaimana cara seseorang mendekonstruksi sesuatu, tanpa mengetahui konstruksi dari hal tersebut? Namun sebenarnya, antagonisme avant-garde terhadap film komersial ini tidak seburuk dalam kenyataan. Pada kenyataannya, tidak semua pembuat film avant-garde menghindari sinema mainstream atau komersial. Justru sebaliknya, banyak filmmaker avant-garde yang mengandalkan sinema komersial sebagai bentuk baru mereka menuangkan kesenian mereka.
Meskipun sinema eksperimental dan sinema komersial ada dan beroperasi pada dua ekonomi yang berbeda, termasuk bagaimana mereka dieksibisikan, di mana mereka diputar, dan siapa daya tarik penontonnya, salah bila berpikir bahwa sinema eksperimental dan sinema komersial benar-benar terpisah satu dengan yang lain. Karena pada dasarnya, bila kita kembali melihat pada praktik dan kesadaran para filmmaker, kedua arus ini terpisah, namun terkait erat.
Dalam makalah/paper ini, penulis akan fokus terhadap pengaruh serta keterkaitan film avant-garde karya Stan Brakhage yaitu Mothlight (1963), terhadap opening sequence sebuah film komersil Fox Searchlight Pictures karya Mark Romanek yang berjudul One Hour Photo (2002). Penulis akan mengkaji kedua film dan menelusuri kemiripan serta potensi pengaruh Stan Brakhage terhadap sebuah sequence pencucian foto dalam film baik yang gamblang maupun yang yang subtil, karena walaupun kemiripan visual tidak tampak terlalu kentara di permukaan, penulis akan menggali lebih dalam untuk mencari penggunaan teknik dan praktik film Brakhage pada sequence tersebut.
Sebagai salah satu penggiat sinema avant-garde yang ikonis dan produktif di masa-masa maraknya film komersial adalah Stan Brakhage. Aktif di tahun 1954–2003, Film Brakhage biasanya bisu dan sama sekali tidak memiliki cerita, Brakhage lebih tertarik membuat film yang memanfaatkan visual sebagai mode puitis daripada prosa bercerita. Brakhage sering menyebut film-filmnya sebagai musik visual atau visual music. Durasi film-filmnya berkisar dari hanya beberapa detik hingga bahkan beberapa jam, namun, sebagian besar filmnya berdurasi antara dua atau tiga menit dan satu jam. Teknik yang dirinya sering lakukan adalah melukis langsung ke atas seluloid film dengan tangan, menggores gambar langsung ke dalam emulsi film atau juga menggunakan teknik kolase.
Selain itu, di antara filmmaker Avant-garde modern seperti Maya Deren, Andy Warhol, Kenneth Anger, atau Jonas Mekas, Stan Brakhage menonjol sebagai salah satu filmmaker avant-garde yang kerap bersifat tertarik terhadap sinema mainstream. Hal ini jelas melalui beberapa essay Brakhage yang fokus terhadap filmmaker sinema naratif seperti D.W. Griffiths, Sergei Eisenstein, Carl Theodore Dreyer ataupun F.W Murnau. Meskipun tulisannya tetap berupa kritik atas kedangkalan yang dirasakannya terhadap film komersil, essay-essay ini menunjukkan wawasan luas yang dimiliki Brakhage terhadap sinema mainstream. Dalam mengkaji filmografi naratif Eisenstein, Brakhage menggambarkan Eisenstein sebagai filmmaker dengan ideal dramatisme Yunani yang luar biasa, menjuluki film semi dokumenter Eisenstein October: Ten Days That Shook the World (1927) sebagai suatu karya yang dapat diapresiasi sepenuhnya sebagai mimpi yang lahir dari imajinasi Eisenstein. (Brakhage 74)
Hal ini kemudian tidak mengejutkan bila wawasan dan hasil kajian luas yang dimiliki Brakhage, menghasilkan pengaruh Brakhage terhadap sinema komersial. Dalam panel yang diselenggarakan New York Film Festival di tahun 2011, Jon Gartenberg, seorang pengkaji dan distributor film avant-garde mengatakan bahwa distingsi antara sinema avant-garde dan komersial terus berevolusi dan kemudian saling tumpang tindih. Hal ini baginya mengakibatkan meskipun sinema komersial atau mainstream tidak memiliki abstraksi yang dihasilkan film-film avant-garde, kesadaran dan wawasan yang dimiliki filmmaker komersial terhadap sinema avant-garde, baik secara langsung maupun tidak, memungkinkan dihasilkannya pengaruh atau inspirasi film-film avant-garde ke dalam sinema komersial.
Dalam kajian dan artikel film internasional yang telah ada, pengaruh Stan Brakhage terhadap sinema komersial, kerap diasosiasikan terhadap desain credits pembuka atau penutup sebuah film. Desain credits penutup film Seven (1995, Fincher) dengan sangat jelas mengadopsi gaya goresan seluloid Brakhage, sama halnya dengan closing credits film The Jacket (2005, Maybury). Film-film yang bersifat komersial namun terkadang terasa lebih eksperimental seperti Tree of Life (2011, Malick) juga menggunakan gaya emulsi Brakhage untuk mensimulasikan tampilan visual alam semesta. Namun, di antara pengaruh dan inspirasi gaya avant-garde Brakhage ke dalam sinema komersial, ada sebuah film yang mengeluarkan pengaruh ini dengan cara yang lebih halus dan menarik.
Tumpang tindih Brakhage terlihat secara subtil dalam film One Hour Photo (2002) karya sutradara Mark Romanek. Film komersial yang dibintangi oleh aktor-aktor komersial seperti Gary Cole (Office Space, Talladega Nights), Clark Gregg (Avengers, 500 Days of Summer) dan lebih lagi Robin Williams (Jumanji, Mrs. Doubtfire), ini mengadopsi praktik perekaman gambar yang terpengaruh oleh film avant-garde Stan Brakhage yang berjudul Mothlight (1963).
Di luar Dog Star Man (1962), Mothlight merupakan film karya Stan Brakhage yang paling sering diputar kepada publik. Namun ironi, film yang kini populer ini diciptakan oleh Brakhage saat dirinya sedang kekurangan uang untuk membeli stock seluloid bersih. Dalam Mothlight, Brakhage menyusun sayap-sayap dari ngengat (moth), dedaunan, dan serangga-serangga lain di antara dua pita seluloid, lalu menggunakan selotip untuk menyambungkannya dengan dimensi film 16mm. Efek yang dihasilkan kolase seluloid ada beberapa. Setiap gambar, baik itu sayap serangga atau dedaunan, muncul selama tidak lebih dari 1/24 detik. Stan Brakhage sendiri merupakan filmmaker yang terobsesi dengan persepsi dan sudut pandang. Dalam membuka bukunya, Metaphors on Vision (1960), Brakhage menyatakan;
“Imagine an eye unruled by man-made laws of perspective, an eye unprejudiced by compositional logic, an eye which does not respond to the name of everything but which must know each object encountered in life through an adventure of perception.” (Brakhage : 26)
Gambar 1. Beberapa frame dalam Mothlight (1963)
(Sumber: Stan Brakhage)
Mothlight (1963) karya film avant-garde nya yang ke-32 sepenuhnya membuktikan perspektif ini, dibuat tanpa menggunakan kamera, perspektif yang dilahirkan oleh film datang sepenuhnya melalui proyektor, melewatkan proses “syuting” dalam sinema, menolak segala praktik yang telah menjadi norma secara luas. Secara mendasar, Mothlight dapat dibilang sebagai “jelajah persepsi” yang dilakukan Brakhage, memberikan perspektif/sudut pandang yang secara logika ruang, diluar kemungkinan realita. Melalui Mothlight, Brakhage menginginkan untuk melampaui batasan-batasan dari bahasa dan “logika komposisi” konvensional yang ditemukan di film komersial.
Namun, bila Brakhage berusaha melampaui atau bahkan menentang konvensi naratif film komersial, bukan berarti film komersial tidak dapat mengambil inspirasi (khususnya secara visual) dari karya Mothlight. Di luar film Seven (1995, Fincher), yang mengambil langsung teknik Brakhage, adegan pencucian film dalam One Hour Photo mengambil inspirasi Mothlight dengan cara yang lebih subtil. One Hour Photo terinspirasi lebih kepada gagasan Brakhage terhadap perspektif; mengenai usaha dalam menyajikan imaji yang di luar logika komposisi.
Hal ini pertama terlihat dari pemosisian kamera/persepsi yang sangat dekat atau bahkan di dalam mesin developer film. Namun hal ini tidak cukup menyimpulkan pengaruh Brakhage dalam sequence ini. Bagaimana shot-shot ini disunting dengan cutting yang sangat cepat dan rapid, memberi kesan yang serupa dengan Mothlight.
Meskipun tidak secepat Mothlight, secara jukstaposisi dan durasi antar shot, sequence ini memiliki cutting yang cukup cepat. Peletakkan kamera yang berada di luar “logika komposisi” yang sempat disinggung Brakhage dalam Metaphors of Visions juga sejalan dalam sequence ini. Dimana karena close-up yang sangat ekstrim, ditambah dengan tidak jelasnya kesinambungan antar shot, sequence ini jauh lebih dominan secara visual dibanding naratif. Bagaimana film One Hour Photo menceritakan mengenai seorang pencuci foto, juga memberi cerminan atas film ini terhadap Mothlight. Dimana dalam Mothlight, fakta bahwa yang dilihat/ditonton adalah stok film seluloid merupakan hal yang jelas, hal ini juga sama dengan sequence ini. Penonton memahami apa yang dilihat secara penuh, yaitu stok foto yang terlihat karena diproyeksi cahaya dari belakangnya.
Secara pergerakan objek, Mothlight juga terasa pengaruhnya terhadap sequence ini dalam One Hour Photo. Objek dalam film terlihat sangat dekat sehingga pergerakannya terkesan ambigu dan kemana-mana. Screen direction juga diabaikan dalam kedua film, menciptakan rasa ketidakpastian atau kerumitan. Namun tentu kerumitan dalam film One Hour Photo jauh lebih subtil dikarenakan film ini merupakan film naratif. Tetapi, fakta bahwa sequence ini muncul sebelum adanya pemaparan plot yang intens, membuat kedekatan yang dicapai adegan ini lebih terkesan lebih abstrak dan ambigu. Romanek mengambil kekhasan visual Mothlight dan mengadopsinya kedalam suatu hal dengan konteks yang jauh berbeda. Hal ini biasa dengan sifat kepengaruhan avant-garde dengan film komersial. Dikarenakan terlalu abstrak dan sifatnya yang non-naratif, yang dilakukan oleh Romanek dan sutradara lain bukanlah adaptasi, namun inspirasi dan pengaruh yang lebih merujuk pada visual.
Pengaruh ini lebih terbuktikan bila kita melihat latar belakang karier Mark Romanek sebagai penulis dan sutradara atau lebih sederhananya sebagai seniman. Sejak masa sekolah menengah atas, Romanek telah bereksperimen dengan kamera Super 8 dan seluloid 16mm. Mendatangi tipe sekolah yang sangat transgresif, dalam kurikulumnya Romanek telah terekspos oleh karya-karya sinema eksperimental. Dalam blognya, Romanek bercerita mengenai bagaimana sekolahnya sering kedatangan guru dari Chicago Art Institute;
“the teachers came from the chicago art institute, which was a bastion of hippie non-narrative structuralist, experimental cinema, so, they were exposing these suburban kids to the work of stan brakhage, michael snow, kenneth anger, jonas mekas, jean cocteau and andy warhol — really, really out there stuff.”
Romanek terbuka mengenai kekaguman besarnya terhadap sineas atau seniman film avant-garde. Dari umur yang relatif muda, dirinya telah memahami penuh spektrum bentuk dan gaya dalam sinema, memahami bahwa dalam sinema terdapat dua buah sisi dalam koin yang sama, sisi komersial dan “art.” Namun, keduanya dapat tumpang tindih dan menghasilkan posibilitas yang sangat luas. Di antara sutradara avant-garde yang dipelajari selama masa mudanya, Romanek menyebut Stan Brakhage sebagai inspirasi terbesarnya. Hal ini tidak mengejutkan karena mentor Romanek, Peter Kingsbury, merupakan murid langsung dari Stan Brakhage di School of the Art Institute of Chicago.
Meskipun berada pada sisi yang berbeda, beroperasi dalam ekonomi yang berbeda, dibuat oleh tipe filmmaker yang berbeda, dan ditujukan kepada segmentasi penonton yang berbeda, sinema komersial atau mainstream dengan sinema avant-garde tetap memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Dalam mengadopsi kekhasan visual dalam film avant-garde dan mengimplementasikannya ke dalam sinema komersial yang kaya dengan naratif, sutradara seperti Mark Romanek dalam filmnya One Hour Photo (2002) dapat menciptakan suatu karya yang meskipun memiliki konteks yang jauh berbeda, hasil dari karya secara subtil tetap terinspirasi dari film avant-garde.
Mark Romanek dalam menciptakan film naratif Hollywood, terinspirasi secara stilistik oleh Stan Brakhage, hal ini jelas terasa dalam sequence pencucian foto di awal filmnya. Meskipun One Hour Photo tidak memiliki gambar abstrak yang dipaparkan dalam Mothlight Stan Brakhage, sesuatu dalam kesadaran dan pengetahuan yang dimiliki Romanek mengenai sinema eksperimental atau avant-garde seperti Mothlight dapat mempengaruhi gaya dari apa yang ia buat sebagai filmmaker. Dari sudut pandang pembuat film dan juga penonton, keterikatan ini adalah pertanyaan mengenai persepsi dalam kesadaran dan persepsi dalam melihat. Pengaruh dalam kasus ini membuktikan bahwa inspirasi seperti yang Romanek dapatkan dari Brakhage berkisar pada apa persepsi untuk kedua film, di mana kedua persepsi dapat berarti dua hal yang berbeda, namun ciri khas visual yang dihasilkan adalah satu hal yang sama.
Dengan ini, sudut pandang yang dimiliki penonton dan filmmaker terhadap sinema avant-garde dan komersial perlu berevolusi menjadi sesuatu yang lebih bersinergi. Memahami bahwa terjadinya inspirasi, kepengurusan, dan tumpang tindih di antara keduanya merupakan hal yang perlu dijadikan bagian dari norma. Karena, segalanya kembali ke dalam kesadaran dan wawasan seorang filmmaker komersial terhadap film-film di luar sinema mainstream. Hal ini penting demi menciptakan kesegaran dalam sinema, karena dengan mengimplementasikan gagasan-gagasan lama seperti visual avant-garde Mothlight dalam film komersial One Hour Photo, karya yang dihasilkan akan terasa kompleks dan menarik.