Sintaksis Film, Eisenstein, dan Potret Filmis Seseorang
Sintaksis film adalah salah satu konsep menarik dalam menelaah sinema. Seperti seorang seniman yang mengatur dan menyusun kanvasnya, elemen visual dalam film disusun dengan cermat untuk menciptakan sebuah pengalaman sinematik yang kohesif dan bermakna.
Dalam harmoni yang magis, sintaksis film menggabungkan visual dengan cerita, melahirkan sebuah karya sinematik yang melampaui batasan mata; menjadi sebuah perjalanan yang mendalam dan memikat pikiran.
Kosakata film adalah gambar sederhana yang terfotografi
Dalam melihat medium film, Sergei Eisenstein melihat bentuk dan segala potensi stilistik didalamnya, dapat dirangkumkan dalam apa yang disebut syntax, atau lebih khususnya,
a tentative film syntax
Lalu, apa pengaturan sintaksis film yang “efektif”? Bagaimana sintaksis dapat menciptakan karya sinematik yang mendalam dan menarik? Untuk menjawabnya, kita perlu memahami prosesi pengaturan tersebut dahulu.
Dalam esainya berjudul A Dialectic Approach to Film Form atau “Pendekatan Dialektika terhadap Bentuk Film,” Eisenstein menjelaskan konsep-konsep yang membentuk sintaksis film.
Eisenstein menghubungkan sinema dengan linguistik dan seni visual. Bagi Eisenstein, film bukan sekadar medium untuk merekam aksi dan peristiwa (realis), tetapi bentuk ekspresi yang melibatkan pengaturan visual dan pilihan sinematik yang intelektual (formalis).
Dalam mencoba menjelaskan metodenya, Eisenstein memberikan contoh potensi dari sinema, yang sama sekali belum pernah dipraktekkan (bahkan oleh dirinya sendiri):
Dapatkah sinema menciptakan potret filmis seorang manusia, seperti yang dituturkan secara tulisan dalam sebuah biografi? Teka-teki ini menarik dan menantang, dan dapat merangsang pemikiran kita soal memikir cara mewujudkannya.
Eisenstein lanjut bertanya; mengapa film harus mengikuti bentuk-bentuk teater dan lukisan, sementara seharusnya ia memanfaatkan potensi bahasa yang memungkinkan munculnya gagasan-gagasan baru melalui kombinasi elemen-elemen visual?
Baginya, film lebih memiliki kesamaan dengan bahasa dan sastra, di mana elemen visual dalam film (atau shot) dapat diolah dan disusun sedemikian rupa (editing) sehingga membentuk pesan yang kuat dan berkesan. Dalam konteks ini, pemahaman sintaksis film mulai lebih jelas:
memandang kumpulan shot dalam film, yang dirangkai melalui editing, sebagai sesuatu yang bersifat linguistik.
Dalam teorinya, Eisenstein memperkenalkan berbagai macam konsep yang dapat kita cermati sebagai sebuah bentuk pengenalan gramatika film. Dalam moving fragment of montage, Eisenstein merujuk pada kekuatan shot yang berdiri sendiri dan belum dikomposisi dengan shot lainnya. Dengan kata lain, ini adalah satu kata tunggal, yang bermakna pada sendirinya. Seperti sebuah kata yang memiliki arti yang utuh, tipe ini memiliki pemaknaan visualnya sendiri baik iu dalam mengkomunikasikan ide atau perasaan kepada penonton.
Eisenstein juga memperkenalkan konsep menarik lainnya, yaitu moving fragment of montage atau “Gambar Bergerak yang Diproduksi secara Artifisial.” Ia berpendapat bahwa dengan menggunakan komposisi shot yang cerdas, pembuat film dapat menciptakan pergerakan dan makna dalam karya sinematik dengan menggunakan gambar-gambar yang memiliki makna simbolis atau emosional yang kuat. Hal ini seperti sebuah frasa dalam bahasa. Setiap potongan tunggal atau “1 Shot” adalah bagian dari frasa itu sendiri.
Eisenstein lebih memilih jalur ini montase. Baginya, kekuatan visual dalam satu pengambilan gambar saja tidaklah mencukupi. Penting untuk menggabungkannya dengan pengambilan gambar lainnya demi menciptakan narasi yang kuat, sehingga penonton dapat menggali potensi cerita yang disampaikan.
Proses penggalian makna yang dilakukan penonton dielaborasi oleh Eisenstein melalui pandangannya mengenai bagaimana pengaturan kombinasi gambar dapat memunculkan efek emosional atau bahkan psikologis. Emotional combinations, menurut Eisenstein, melibatkan elemen-elemen yang ada dalam satu adegan (shot) beserta hubungannya dengan aspek psikologis/emosional penonton.
Sebagai contoh, dalam film Strike (1925, Eisenstein), terdapat adegan pembunuhan buruh yang disilang dengan adegan penyembelihan kerbau. Meskipun subjeknya berbeda, sifat “pembunuhan” atau “penyembelihan” adalah hubungan yang asosiatif. Dalam contoh ini, Eisenstein menggunakan pergerakan subjek dari posisi A ke B untuk menciptakan dinamisasi emosional.
Eisenstein menggunakan tipe ini untuk memperkuat intensitas emosional sebuah kombinasi shot. Namun, Eisenstein pula mengakui bahwa penggunaan tipe ini bisa sulit, dan sering kali tujuan pergerakan emosional yang ingin dicapai dapat hilang di mata penonton.
Tipe menarik lain yang dijelaskan oleh Eisenstein adalah liberation of the whole action from the definition of time & space. Melalui ini, Eisenstein melihat potensi kombinasi shot dalam membebaskan segala aksi dalam adegan agar tidak terpaku dalam ruang dan waktu kejadian, menciptakan “limbo” yang berada di luar dunia naratif.
Sebagai contoh, dalam film October: Ten Days That Shook the World (1927, Eisenstein), terdapat adegan di mana tank Kornilov memanjat dan menghancurkan patung kecil Napoleon yang berdiri di atas meja Kerensky di Istana Winter Palace. Jukstaposisi ini menciptakan simbolisme yang murni dalam upaya untuk menyampaikan pesan yang lebih dalam.
Dalam menjelajahi sintaksis film, kita perlu terus mengembangkan dan menggali pendekatan baru. Sintaksis film memberikan alat untuk mengungkapkan gagasan dan pesan yang mendalam melalui penggunaan elemen visual dalam medium sinematik. Dengan menggabungkan kreativitas, eksperimen, dan refleksi kritis, kita dapat menciptakan karya sinematik yang memukau dan menginspirasi penonton untuk berpikir, menghubungkan konteks dengan teks, serta membawa medium sinematik ke dimensi yang belum pernah dibayangkan sebelumnya.
Kembali enghadapi tantangan yang diajukan oleh Eisenstein, kita dapat mulai membayangkan dan merancang bagaimana potret filmis seorang manusia dapat disampaikan.
Mari kita berandai-andai; usaha semacam ini memerlukan kerja sama ratusan kru yang terampil, termasuk sutradara, sinematografer, penata gambar, dan editor yang menguasai bidangnya dan potensi-potensi di dalamnya. Setiap detail tentang kehidupan dan perjalanan hidup tokoh yang digambarkan harus direkam secara akurat dan diperhatikan dengan cermat. Pengaturan visual yang rumit dan simbolis harus dirancang untuk memperkuat dan menyampaikan pesan biografis yang ingin disampaikan kepada penonton.
Bayangkan durasinya. Untuk mencakupi informasi yang kerap ditemukan dalam biografi tulisan, film semacam ini mungkin memiliki durasi berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Bagaimana penonton akan menonton film yang begitu panjang yang hanya terdiri dari rentetan visual? Daya tahan fisik dan mental yang dibutuhkan oleh penonton akan sangat luar biasa. Mereka harus siap mengikuti setiap adegan yang tertuang dalam bahasa visual dengan seksama dan tanpa kehilangan fokus.
Jadi, apakah mungkin?
Meskipun ide menciptakan potret filmis seorang manusia ala Eisenstein terdengar menarik dan memungkinkan, kita harus mengakui bahwa usaha semacam itu sebenarnya tidak perlu dilakukan. Melalui pemahaman yang mendalam tentang sintaksis film dan penerapannya yang cerdas, kita masih dapat menciptakan karya sinematik yang memikat dan memberikan pengalaman sinematik yang mendalam kepada penonton.
Tantangan ini sebenarnya tidak lebih dari hipotesis Eisenstein dalam wacananya untuk menjelaskan kemungkinan-kemungkinan sinema. Sintaksis film itu sendiri diselidiki dan dielaborasi oleh Eisenstein agar dapat digunakan sebagai kerangka dan alat dalam menciptakan karya sinematik yang efektif secara tekstual.
Kita tidak perlu menciptakan portret seseorang dengan cara yang sepenuhnya murni filmis. Dengan memahami dan menyadari konsep-konsep sintaksis film, kita dapat melampaui batasan kreativitas dan membawa pengalaman visual sebuah film ke tingkat yang lebih tinggi.
— — — — —
Eisenstein, Sergei. “A Dialectic Approach to Film Form.” Film Form: Essays in Film Theory, HMH, 2014, pp. 56–63.