Sinema Diaspora: Mira Nair dan Mississippi Masala (1991)
Sebuah negara dengan populasi mencapai jutaan orang, dengan keberagaman dalam beragama, berideologi, dan berbudaya, memunculkan pertanyaan mendasar: bisakah sebuah negara benar-benar dianggap sebagai suatu kesatuan? Meskipun memiliki heterogenitas yang begitu kaya, seringkali pandangan tentang “satu” kesatuan ini mengaburkan adanya dan pentingnya keragaman.
Dalam Unthinking Eurocentrism, Ella Shohat menyelidiki pemahaman atas apa yang sering dikatakan sebagai Sinema Nasional melalui konsep nasionalitas itu sendiri (286). Bagi Shohat, konsep negara kesatuan cenderung menyembunyikan kontradiksi dan keragaman. Pemahaman ini mencerminkan pandangan bahwa negara kesatuan dapat menjadi tirai yang menyembunyikan sifat heterogen masyarakat yang dinamis; menyelubungi perbedaan antara unsur-unsur urban dan rural, laki-laki dan perempuan, keagamaan dan sekuler, pribumi dan imigran, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, pandangan negara sebagai kesatuan meredam “polifoni” suara-suara sosial dan etnis dalam suatu budaya yang cenderung mengikuti norma heteronormatif.
Kemudian, esensi dari apa yang sebenarnya “nasional”, menjadi subjektif dan bahkan bersifat imajiner. Menurut Shohat, beberapa negara menganggap apa yang nasional dengan cara yang berbeda-beda, menyanggah adanya “esensi: dari sebuah nasionalitas. Beberapa negara bekas jajahan melihat apa yang nasional sebagai dunia masa prakolonial, atau wilayah pedalaman negara yang dianggap “asli” dan belum disentuh asing (pribumi). Namun, seringkali simbol-simbol nasional yang diakui seringkali tak terhindarkan dipengaruhi oleh unsur jajahan.
Dengan ini, konsep nasionalitas seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang bersifat diskursif; mempertimbangkan kelas, gender, identitas, dan seksualitas, serta mengakui “nasionalisme” sebagai suatu konstruksi imajiner yang terus berkembang seiring waktu, bukan sebagai esensi yang muncul begitu saja. Dengan demikian, pemahaman terhadap nasionalitas menjadi kompleks dan melibatkan pemikiran yang terus berkembang terkait dengan aspek-aspek sosial dan budaya yang membentuk identitas nasional.
Dalam konteks keberagaman dan dinamika identitas nasional yang telah dibahas, fenomena diaspora dapat memberi perspektif baru pada rumitnya paradoks ini. Diaspora dan migrasi menciptakan campuran budaya yang fluid. Dalam aliran ini, posisi “mayoritas” dan “minoritas” dapat mudah bertukar tempat, terutama karena “minoritas” internal seringkali merupakan fragmen terdispersi dari apa yang sebelumnya “mayoritas” di negara lain.
Komunitas diaspora, di mana pun berada, tidak hanya menjadi cermin heterogenitas budaya, tetapi juga menghadirkan dimensi identitas yang menantang dan penuh kompleksitas. Khususnya, dalam mengatasi paradoks negara kesatuan yang telah disoroti oleh Shohat. Diaspora bukan sekadar penggalan dari keberagaman budaya, melainkan suatu manifestasi yang menuntut pemahaman lebih dalam tentang bagaimana manusia merespon perubahan global.
Dalam perspektif ini, komunitas menghadapi lapisan dalam eksistensi mereka di negara baru. Pertama, mereka harus beradaptasi dengan realitas menjadi kelompok yang mungkin merasa terpinggirkan, sambil mencoba mempertahankan warisan budaya mereka. Sementara itu, konsep negara kesatuan seringkali cenderung menormalkan identitas mayoritas, menyisihkan dan mengaburkan identitas minoritas. Identitas diaspora menjadi terombang-ambing dalam dinamika ini, di mana perjuangan untuk diterima dan diakui bisa bertentangan dengan tekanan untuk menyatu dalam norma-norma yang dianggap sebagai identitas nasional.
Dengan melibatkan perspektif diaspora, kita dapat memahami bahwa identitas nasional tidak dapat dipahami secara sempit atau terkekang oleh batas-batas negara. Sebaliknya, identitas diaspora menyoroti bahwa adaptasi, interaksi, dan pertukaran adalah bagian integral dari perkembangan identitas yang lebih luas.
Sinema Nasional, serupa dengan konsep nasionalitas itu sendiri, menjadi kabur dan bersifat imajiner. Dikotominya dinamis dan tidak dapat dengan mudah dipetakan. Sebuah film yang dianggap sebagai bagian dari sinema nasional di suatu negara, mungkin tidak dianggap begitu di negara tempat film tersebut dibuat. Di Indonesia, sinema nasional cenderung bersifat sangat umum. Label ini biasanya terkait dengan film-film yang diproduksi oleh warga negara Indonesia. Oleh karena itu, saat membahas Sinema Nasional, penting untuk menggunakan klasifikasi teoritis yang lebih spesifik.
Teori Third Cinema memberikan pemahaman mendalam dan spesifik mengenai Sinema Nasional. Third Cinema, yang awalnya merupakan praktik pembuatan film secara militan yang sejalan dengan perjuangan revolusioner, memiliki visi utama yaitu yaitu konsolidasi Sinema Nasional. Pada dasarnya, Third Cinema tidak hanya menciptakan narasi yang mendorong diskusi dan menawarkan visi alternatif, tetapi juga memberikan landasan bagi pengembangan sinema nasional sebagai proyek bersama yang merepresentasikan identitas bangsa.
“[Third Cinema filmmakers] express their creative personalities, but as part of a larger collective project: the consolidation of a national cinema” (Shohat, 279).
Lebih lanjut, berbeda dengan konsep nasionalitas negara kesatuan yang bersifat imajiner dan menyelubungi keragaman, gerakan Third Cinema yang dicetuskan oleh Fernando Solanas dan Octavio Getino mendekonstruksi esensi dari nasionalitas itu sendiri. Sebab, Sinema Nasional seringkali dibahas dengan pandangan yang menekankan perjuangan dan pemberontakan terhadap norma, melalui fokus tentang komunitas-komunitas yang terpinggirkan. Dengan demikian, Sinema Nasional tidak hanya menggambarkan realitas konkrit, tetapi juga merangkai kritik terhadap homogenitas yang seringkali dihasilkan oleh konsep negara kesatuan.
Diaspora dalam Sinema dan Sinema Diaspora: Identitas dan Reflektifitas
Perlu dipahami bahwa dikotomi Sinema Nasional tidaklah sama dengan negara produksi sebuah film. Sinema Nasional merujuk pada aspek-aspek yang lebih konseptual dan bersifat teoritis dalam kajian kebudayaan, sementara negara produksi sederhananya hanya mengindikasi di mana rumah produksi sebuah film berada. Mengambil contoh sinema populer, film The Raid (2011, Evans) diproduksi oleh PT Merantau, sehingga secara teknis dianggap sebagai film produksi negara Indonesia. Namun, perlu dicatat bahwa sutradara film tersebut, Gareth Evans, adalah warga negara Amerika Serikat.
Dalam contoh ini, muncul pertanyaan tentang apakah film The Raid akan dilibatkan ketika membahas Sinema Nasional? Hal ini menciptakan suatu kompleksitas karena aspek kebudayaan dan identitas nasional dalam Sinema Nasional tidak selalu sejalan dengan kriteria kewarganegaraan atau lokasi produksi suatu film. Sementara secara faktual The Raid diproduksi di Indonesia, kehadiran sutradara yang bukan warga negara Indonesia mempertanyakan sejauh mana film dapat dianggap sebagai representasi dari bagian Sinema Nasional.
Dengan segala dikotomi kompleks soal apa yang dianggap sebagai bagian dari Sinema Nasional, kerap muncul satu kata kunci yang mencoba menghubungkannya; reflektifitas. Merujuk pada Third Cinema, gerakan sinema yang secara militan berjuang untuk mengkonsolidasi Sinema Nasional, reflektifitas muncul sebagai elemen sentral dalam mengeksplorasi identitas dan peran sinema dalam konteks nasional. Para pembuat film Third Cinema secara reflektif menyikapi posisi mereka terhadap masyarakat yang mereka coba untuk wakili; sekaligus merespon subjek nasional dengan merespon dirinya sendiri sebagai seorang pembuat film yang nasionalis. Reflektifitas menjadi jendela yang memberikan wawasan mendalam tentang dinamika kompleks dan interaksi antara sinema nasional dengan kreatornya.
Kemudian, dengan konteks reflektifitas Sinema Nasional, apakah The Raid reflektif? Meskipun The Raid merupakan film Indonesia, pertanyaan tentang sejauh mana film ini mencerminkan reflektivitas nasional mengindikasikan film ini tidak dapat dianggap sebagai bagian dari Sinema Nasional. Secara teknis, The Raid memenuhi kriteria sebagai film produksi Indonesia, namun ia tidak reflektif dengan meresapi atau mempertanyakan esensi nasional di luar batas fisik produksinya.
Kemudian, bagaimana dengan sisi sebaliknya? Apakah film dalam Sinema Nasional mengharuskan produksi film itu dilakukan secara eksklusif di dalam negara itu sendiri? Dalam bahasannya tentang Third Cinema, Shohat menyadari kemungkinan adanya film diaspora sebagai lingkaran terakhir dalam konteks Sinema Nasional. Ia merujuk pada film-film ini sebagai “film diaspora” yang menciptakan campuran identitas, membangun, dan menyelidiki konvensi-konvensi Third Cinema dari posisi “di dalam” dan “di luar” (28).
Hal ini menunjukkan bahwa Sinema Nasional tidak selalu memerlukan pembuatan film secara eksklusif di dalam batas geografis negara tertentu. Sebaliknya, Sinema Nasional dapat memperluas dirinya untuk mencakup karya-karya yang diproduksi di luar negeri oleh diaspora, menghadirkan perspektif yang unik dan menciptakan dialog identitas nasional yang melibatkan kedua sisi, baik di dalam maupun di luar batas wilayah negara.
Film-film yang menitikberatkan pada diaspora dalam Sinema Nasional dapat dianggap sebagai karya-karya yang memiliki kekuatan dan karakteristik hibrida yang khas. Oleh karena itu, istilah “Sinema Diaspora” akan selanjutnya digunakan untuk merujuk pada film-film dengan pendekatan ini.
Sinema Diaspora merujuk pada film yang berfokus pada komunitas eksil atau imigran yang telah menetap di negara lain. Dalam The Skin of the Film, Laura Marks menyoroti bahwa sinema diaspora lebih berfokus pada aspek budaya dengan mendekonstruksi konsep ‘bangsa’, yang tidak memiliki batasan bahasa atau budaya yang kaku. Dengan ini, sinema diaspora menciptakan ruang untuk pertemuan dan penyatuan berbagai wawasan budaya, membentuk sintesis bentuk ekspresi dan pemahaman baru.
Tema seperti etnisitas, ras, budaya, identitas, kolonialisme, dan kapitalisme menjadi sorotan dalam Sinema Diaspora, mencerminkan realitas sosial dan budaya masyarakat yang berinteraksi dengan budaya di negara tempat mereka tinggal. Marks menekankan bahwa pertukaran budaya selalu melibatkan dinamika hubungan antara budaya ‘tuan rumah’ dan budaya minoritas, dengan dampaknya pada identitas (7, Marks).
Sinema diaspora memiliki signifikansi mendalam dalam memahami perjalanan dan pengalaman hidup kelompok diaspora di berbagai belahan dunia. Konsep ini tidak hanya membatasi diri pada perpindahan geografis, tapi melibatkan pemahaman mendalam tentang pergeseran identitas, budaya, dan makna “rumah” yang menjadi landasan bagi karya-karya sinematik yang kaya akan nuansa diaspore.
Dalam merespons kompleksitas diaspora, reflektifitas pembuat film menjadi faktor kunci yang membentuk dan mengarahkan naratif. Pengalaman pribadi, sejarah keluarga, dan ketertarikan individu dalam memahami serta menyampaikan realitas diaspora menjadi elemen-elemen penentu dalam proses kreatif. Oleh karena itu, memahami bagaimana pengalaman diaspora mempengaruhi pengambilan keputusan artistik, struktur naratif, dan pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film adalah aspek penting dalam menganalisis karya-karya sinema diaspora.
Kajian ini akan membahas bagaimana pengalaman diaspora menjadi fokus utama sutradara Mira Nair dalam film Mississippi Masala (1991). Dalam hal ini, perjalanan karakter, dinamika antara karakter, dan tema-tema yang diangkat dalam film akan dianalisis untuk memahami cara diaspora Nair mempengaruhi makna dan kompleksitas naratif. Dengan memperdalam latar belakang pembuat film dan menganalisis karya secara holistik, diharapkan penelitian ini dapat menggali kedalaman dan keunikan dari pengalaman diaspora yang tercermin dalam karya film tersebut.
Kemudian, kajian ini juga akan mengeksplorasi bagaimana Mississippi Masala mencerminkan bagaimana konsepsi negara kesatuan, terutama dalam konteks Amerika Serikat, dapat menyamarkan realitas diaspora. Konsep negara kesatuan seringkali dipahami sebagai wadah persatuan, tetapi dalam konteks kajian ini, akan dianalisis bagaimana konsep ini dapat menutupi kontradiksi dan keragaman yang terdapat di dalamnya.
Mira Nair dan Reflektifitas Sinema Diaspora
Lahir di Orissa, India pada tahun 1957, Mira Nair memulai karirnya sebagai seorang sutradara dan pembuat film setelah dirinya pindah dan menetap di Amerika Serikat untuk kuliah di Harvard University setelah sempat berkecimpung sebagai aktris di New Delhi. Sebagai seorang pembuat film, Nair memiliki ketertarikan dan dorongan mengeksplorasi tema-tema seperti migrasi, identitas, dan konflik budaya. Hal ini terlihat sejak awal karirnya sebagai seorang dokumentaris etnografis, hingga karirnya sebagai seorang sutradara film independen.
Sebagai perempuan India yang menetap di Amerika Serikat, Mira Nair menghadirkan keunikan dalam karya-karyanya dengan menjelajahi ruang di luar batas geografis. Dalam film-filmnya seperti Mississippi Masala (1991), The Perez Family (1995), dan The Namesake (2006), ia secara aktif mencari dinamika di antara identitas-identitas yang mendominasi melalui kacamata seorang imigran. Serta menantang segala batasan yang berkaitan dengan kelas, gender, ras, dan terutama lokasi.
Terlihat dari film-film Nair, pengalaman diaspora bukan sekadar latar belakang, melainkan fondasi kritis yang membentuk esensi filmografinya. Hal ini terlihat walaupun Nair telah menghabiskan banyak waktu di luar India; ia tetap setia pada akar budayanya, menggunakan mereka sebagai sumber utama inspirasi dalam setiap karyanya. Dalam wawancara dengan Janis Cole dan Holly Dale, Nair dengan tulus menggambarkan perasaannya terhadap identitas sebagai warga diaspora, menjadikan pengalaman unik ini sebagai elemen kunci yang membentuknya;
“As a brown person, between black and white, I could move between these worlds very comfortably because I was neither” (149).
Dengan menyoroti posisinya di antara dua warna kulit yang dominan, Nair merujuk pada keberadaannya di wilayah yang unik dan tidak terikat pada stereotip yang mungkin terkait dengan kulit hitam atau putih. Pernyataannya mencerminkan pemahamannya yang mendalam akan kompleksitas identitas diaspora, di mana dia menemukan kebebasan untuk menavigasi dan menggabungkan unsur-unsur dari kedua dunia tersebut.
Pandangan Nair, yang terinspirasi oleh pengalamannya sebagai perempuan diaspora, membuka pintu ke dalam kompleksitas dan dinamika konsep negara. Dalam konteks ini, pandangan Ella Shohat tentang paradoks negara “kesatuan,” yang dianggapnya sebagai gambaran imajiner yang mereduksi keragaman di dalamnya, memainkan peran penting. Pendekatan dan pengalaman khusus Nair sebagai sutradara perempuan diaspora memberinya kemampuan untuk mengungkap dan mengkritisi konsep ‘negara kesatuan’ ini secara lebih mendalam. Melalui karyanya, Nair menggali berbagai narasi yang menekankan multikulturalisme, memberikan pandangan bahwa negara bukanlah entitas statis, melainkan wilayah yang dinamis, saling beririsan, dan senantiasa mengalami perubahan.
Membaca filmografi Nair, Mississippi Masala (1991) menonjol sebagai karya yang dapat menggambarkan paradoks yang timbul dalam konteks negara kesatuan, terutama di Amerika Serikat. Dengan menggunakan naratif yang mendalam, film ini menyelidiki konflik identitas dan perasaan dislokasi yang dialami oleh karakter-karakternya, khususnya terkait dengan komunitas diaspora, warisan budaya dan kewarganegaraan.
Mississippi Masala mengeksplorasi dinamika antara keinginan untuk mempertahankan identitas nasional dan usaha untuk menyatu dalam masyarakat yang heterogen. Melalui kisah cinta antara Mina (Sarita Choudhury), seorang imigran, dan Demetrius (Denzel Washington), seorang minoritas Afrika-Amerika, film ini mencerminkan konflik identitas, stereotip rasial, dan dinamika sosial yang kompleks di dalam masyarakat multikultural Amerika Serikat.
Mississippi Masala dan Pembentukan Identitas Diaspora
Meskipun film Mississippi Masala dibuat jauh setelah era gerakan Third Cinema, terdapat pengaruh kuat dalam bagaimana ia mengangkat komunitas yang terpinggirkan, terutama terkait dengan pengusiran warga negara Asia di Uganda. Pada tanggal 4 Agustus 1972, diktator Uganda, Idi Amin, mengeluarkan dekrit yang mengubah secara drastis kehidupan warga diaspora Asia yang tinggal di Uganda. Melalui dekrit ini, Amin memerintah semua warga Asia, termasuk orang India, yang tinggal di Uganda diberi batas waktu 90 hari untuk meninggalkan negara tersebut. Dekrit ini mengakibatkan pengusiran massal yang brutal, di mana kebijakan tersebut menciptakan pengasingan massal, memaksa ribuan orang India dan komunitas Asia lainnya untuk meninggalkan tempat yang telah lama mereka tinggal.
Dalam 90 hari yang ditentukan, ribuan orang terpaksa meninggalkan tanah tempat tinggal mereka, meninggalkan harta benda dan akar kehidupan mereka di Uganda. Kejadian ini, yang sekarang dikenal sebagai Pengusiran orang India dari Uganda, mencerminkan bukan hanya tindakan otoriter Idi Amin, tetapi juga ketidakadilan sistemik dan ketidaksetaraan yang melibatkan identitas diaspora. Film Mississippi Masala, meskipun dalam konteks fiksi, tidak fokus pada kejadian ini secara eksplisit, namun mengeksplorasi dampak generasional yang muncul dari pengalaman brutal ini.
Hal ini terlihat dari pusat naratif film yang menyorot Mina, seorang keturunan dari salah satu ribuan keluarga keturunan Asia yang telah menetap lama di Uganda dan menjadi korban pengusiran masal. Keluarga Mina, yang pada tahun 1972 terpaksa meninggalkan segala yang mereka kenal dan merantau, kini menetap di Greenwood, Mississippi, dan telah beradaptasi di lingkungan yang baru selama 18 tahun.
Karakter Mina muncul sebagai gambaran diaspora yang tidak hanya unik, tetapi juga spesifik. Kehadirannya di antara dua dunia, meninggalkan tanah airnya, Uganda pada usia sangat muda, dan identitasnya sebagai seorang perempuan keturunan India, menciptakan sebuah identitas yang terjepit di persimpangan ekspektasi dan realitas. Terlepas dari akar budaya dan keturunannya, Mina tidak memiliki ikatan emosional yang kuat dengan identitas rasialnya sebagai perempuan berketurunan India, yang memunculkan pertanyaan yang mendalam tentang pengaruh lingkungan dan pengalaman pribadi terhadap konstruksi identitas.
Kompleksitas dualitas identitas tercermin dengan jelas di awal film ini. Melalui perspektif Mina yang masih kecil, penonton disaksikan tragedi pengasingan paksa dan dinamika rezim militer yang menghancurkan ikatan antara Asia dan Afrika, menimbulkan penderitaan mendalam, terutama bagi keluarganya. Lewat pandangan Mina, kita menyaksikan keluarganya dipaksa masuk ke dalam bus, sementara ibunya diintimidasi oleh seorang petugas bersenjata.
Pada titik ini, film dengan memindahkan pandangan penonton ke Greenwood, Mississippi, tahun 1990, di mana ibu Mina kini memiliki toko minuman keras, dan keluarganya memiliki bisnis motel kecil di pedalaman Mississipi, di sebuah lingkungan yang mayoritas dihuni oleh orang-orang kulit hitam. Meski ibu Mina nampaknya telah pulih dari pengasingan ini, ayah Mina masih terpaku pada masa lalu. Ia terus berjuang untuk mendapatkan kembali tanahnya dengan mengajukan gugatan terhadap pemerintah Uganda. Keluarga Mina berada di ambang antara dua budaya, dalam keadaan “liminal” yang kompleks dan penuh perbedaan.
Namun, di saat Ayahnya belum sepenuhnya menerima kondisi diaspora, Ibunya sudah menerima dan beradaptasi terhadapnya, Mina, yang tumbuh besar di Amerika Serikat, menemukan identitasnya sepenuhnya terkait dengan citra perempuan modern Amerika Serikat. Transformasi ini dapat diidentifikasi dengan jelas melalui adegan pertama ketika penonton melihat Mina dalam bentuk dewasa.
Mina dewasa pertama kali dihadirkan dengan identitas yang kuat terkait dengan Amerika Serikat;musik blues dan konsumerisme. Dengan musik blues yang khas dari Mississippi yang mendominasi film, kita melihat Mina sedang asyik berbelanja di supermarket. Sambil mendorong keranjang belanja, supermarket dihiasi dengan warna-warna cerah dari logo-logo produk makanan siap saji, deterjen, dan sereal. Rambutnya berantakan, dan gaya pakaiannya sangat modern. Dalam gambaran ini, Mina tidak hanya menjadi simbol diaspora yang sukses berakar di Amerika Serikat, tetapi juga mencerminkan dinamika kontemporer dan bagaimana identitasnya menyatu dengan citra modernitas di negaranya yang baru.
Melalui adegan-adegan awal ini, Mississippi Masala dengan efisien menggambarkan tiga kemungkinan yang muncul dari diaspora: dislokasi, adaptasi, dan pembentukan. Ayah Mina, yang belum sepenuhnya menerima pengasingan ini, menunjukkan dislokasi dengan nasionalisme yang kuat terhadap Uganda. Di sisi lain, Ibunya berhasil beradaptasi dengan menemukan titik tengah antara identitas dan ekspektasi dalam konteks baru. Namun, Mina, yang sepenuhnya menyerap kebudayaan di negara yang baru, memperlihatkan proses pembentukan identitas yang khas dalam diaspora.
Hal ini menunjukkan bahwa diaspora tidak hanya menghadirkan tantangan, tetapi juga membuka evolusi identitas yang kompleks. Keluarga Mina menjadi representasi mikrokosmos dari dinamika yang ada di dalam komunitas diaspora, dimana setiap individu merespon secara berbeda terhadap perubahan dan tantangan yang dihadapi. Dalam perjalanan ini, Mississippi Masala menggali lapisan-lapisan makna tentang bagaimana diaspora dapat membentuk, mempengaruhi, dan menciptakan identitas individu yang unik.
Namun, pilihan Mina untuk lebih mengidentifikasi diri sebagai warga Amerika Serikat membuka lapisan-lapisan kompleks dalam naratifnya. Meskipun , Mina lebih memilih mengaitkan dirinya dengan budaya yang telah menjadi bagian hidupnya sejak kecil, dirinya dihadapkan pada ekspektasi sekitarnya yang menaruh penekanan pada identitas rasialnya. Hal ini tidak hanya menciptakan konflik dengan pandangan luar, tetapi juga membawa kita ke dalam perjalanan batin Mina, yang harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan pribadi tentang akar identitas, asal-usul, dan tempat yang disebutnya sebagai “rumah.”
Dalam wawancara bersama Roxana Hadadi di Vulture, Nair mengungkapkan bahwa karakter-karakter dalam film memberikan pandangan yang variatif tentang diaspora; khususnya, bagaimana individu-individu tersebut memahami dan merasakan koneksi mereka dengan tempat-tempat yang dianggap sebagai “rumah.” Orang tua Mina, sebagai generasi yang lebih tua, mengalami diaspora dengan melihat Uganda sebagai rumah sejati mereka, sementara Mina, sebagai generasi yang lebih muda, melihat baik Uganda maupun Mississippi sebagai rumahnya. Pemahaman dan pengalaman diaspora tersebut menciptakan perspektif yang kompleks dan terkadang bertentangan, mencerminkan bahwa konsep rumah dalam konteks diaspora adalah suatu yang sangat pribadi dan dapat berubah seiring waktu.
Posisi “liminal” yang dihadapi Mina, di mana dia berada di ambang perubahan dan transformasi, menjadi cermin dari obsesi Mira Nair terhadap konsep rumah. Nair, sebagai sutradara film ini, senantiasa tertarik pada cerita-cerita individu yang hidup di pinggiran, di tepi masyarakat, atau di luar norma yang mapan. Pertanyaan pokok yang selalu menggelayuti Nair adalah tentang rumah, bukan hanya sebagai tempat fisik, tetapi juga sebagai entitas spiritual dan emosional. Kehadiran Mina dalam situasi ambivalen menjadi kuat dengan pencarian terus-menerus Nair akan makna rumah.
“They considered themselves really Ugandan; they never quite settled in Mississippi and always longed for that as home. I was interested in Mina being their daughter, but she didn’t see one as different from the other. She was born and raised that way; that was her home. Those things I brought, those pillars of the story (Nair, dalam Vulture Apr 22).”
Dalam film, karakter Mina berdiri dalam posisi “liminal” dalam posisinya sebagai warga diaspora. Liminal dalam konteks diaspora berarti dia berada di ambang perubahan atau transisi, berada di antara dua budaya, dan memiliki kesadaran yang tajam terhadap dinamika dan kontradiksi yang muncul dari perlintasan tersebut. Sebagai agen liminal, Mina memiliki kekuatan untuk membongkar dan merekonstruksi konsep “kewajaran” dalam budaya asal dan budaya baru. Keberadaannya di ambang ini memberinya kebebasan untuk menyelidiki, mempertanyakan, dan membentuk ulang norma-norma yang ada, membawa ancaman terhadap status quo serta potensi untuk memperkaya pemahaman kita tentang identitas, kebebasan, dan kemerdekaan dalam konteks diaspora.
Mina Sebagai Agen Liminal: Dinamika dan Konflik dalam/antar Diaspora
Sebagai agen yang berada dalam posisi liminal, Mina memunculkan dinamika yang sangat kompleks dalam naratifnya, berada di antara dua dunia sebagai warga diaspora India-Uganda dan perempuan modern Amerika Serikat. Posisinya memunculkan konflik yang mendalam saat Mina jatuh cinta dengan Demetrius (Denzel Washington), seorang pria Afrika-Amerika. Melalui reaksi orang di sekitarnya, kisah cinta mereka menjadi pemberontakan eksplisit terhadap ekspektasi kesatuan yang telah diproyeksikan oleh masyarakat dominan.
Reaksi keluarga terhadap hubungan cinta yang mereka larang ini memperlihatkan konflik antara nilai-nilai tradisional yang dipegang teguh oleh keluarga, dan ambisi individu Mina untuk menentukan arah hidupnya sendiri di tengah-tengah identitas diasporanya. Keluarga Mina, sebagai perwakilan diaspora, memperlihatkan dinamika yang kompleks dalam menyikapi perubahan identitas dan nilai-nilai dalam lingkungan yang baru. Konflik ini juga mencerminkan bagaimana diaspora membawa tantangan tidak hanya dalam menavigasi antara dua budaya, tetapi juga dalam menghadapi ekspektasi dan norma-norma yang diterapkan oleh keluarga yang memegang teguh tradisi.
Kisah cinta ini membuka tirai tentang cara konsep negara kesatuan, terutama di Amerika Serikat, seringkali menyembunyikan kontradiksi dan keragaman yang melekat di dalamnya. Mina dan Demetrius, sebagai dua karakter yang mewakili perbedaan ras dan latar belakang budaya, membawa penonton untuk melihat betapa kompleksnya realitas sosial di tengah citra persatuan yang terpapar. Pertentangan yang mereka alami, terutama dalam konteks pernikahan yang diatur oleh keluarga Mina, mengungkap lapisan-lapisan ketidaksetujuan dan ketidakcocokan antara aspirasi kesatuan nasional dengan kenyataan heterogen masyarakat.
Hal ini menarik karena Mira Nair mempertemukan dua kelompok diaspora yang, pada dasarnya, memiliki akar yang sama. Namun, karakter Demetrius dan Mina menggambarkan pengalaman diaspora yang berbeda; yakni dalam hal waktu dan sejauh mana proses adaptasi telah terjadi. Karakter Demetrius, dengan latar belakang keluarga Afrika yang telah lama berada di Amerika Serikat selama banyak generasi, memperlihatkan dimensi lintas-generasi dari pengalaman diaspora. Ini mengeksplorasi bagaimana perbedaan waktu dalam diaspora dapat membentuk perspektif dan identitas kelompok.
Dinamika ini yang sebenarnya menjadi pemicu ketertarikan Nair untuk membuat film ini. Nair tertarik terutama pada pengusiran Asia dari Uganda dan populasi imigran India di Selatan Amerika Serikat. Dirinya kemudian mulai mempertanyakan lagi kembali konsep dan dampak pengasingan, merancang cerita yang mengaitkan pengalaman orang India yang diusir dari Afrika karena bukan orang kulit hitam, dan orang Afrika-Amerika yang lahir di Amerika, namun tidak pernah pergi ke Afrika (119, Foster).
Ironisnya, meskipun keduanya seharusnya memiliki persamaan sebagai kelompok diaspora, fokus pada perbedaan mereka menggambarkan bagaimana diaspora sendiri dapat menciptakan dinamika internal yang kompleks. Kritik terhadap arti kesatuan yang diungkapkan melalui konflik antara kelompok diaspora ini menyoroti sifat imajiner dari konsep negara ‘kesatuan’. Film ini menjadi cermin bagi kompleksitas identitas dan keragaman yang tersembunyi di dalamnya, menantang pandangan umum tentang persatuan dalam konteks masyarakat yang terus berubah.
Konflik antar kelompok diaspora dapat terlihat jelas dalam adegan ketika Mina bertemu dengan keluarga Demetrius. Adegan ini, menunjukkan bahwa komunitas diaspora Asia dan Afrika-Amerika tidak merefleksikan satu dengan yang lain. Contohnya, pasangan Demetrius, Tyrone, keras kepala menyebut Mina sebagai orang Meksiko, seakan-akan tidak memahami konsep dari diaspora itu sendiri.
Kemudian, sejarah pengasingan keluarga Mina dari Uganda menjadi pusat pertanyaan di meja makan ketika Demetrius membawa Mina pulang untuk bertemu keluarganya. Kebingungan keluarga Demetrius antara apakah Mina orang India, orang Native American, atau bagaimana dia bisa berasal dari Afrika menjadi diskursus yang seakan-akan mencoba mereduksi identitas Mina yang kompleks. Dalam adegan ini, Mina, yang identitasnya menjadi sorotan, menjelaskan bahwa keluarganya bermigrasi dari Afrika, tetapi mereka adalah orang Asia. Keluarga Demetrius, mempertanyakan mengapa ada orang India di Afrika, dan Mina dengan sabar menjelaskan bagaimana para kolonialis Inggris menggunakan orang Asia untuk membangun jalur kereta api di Afrika. Pada titik ini, konflik identitas dan ketidakpahaman antar-komunitas diaspora menjadi sangat terasa, menciptakan ketegangan dan pertanyaan yang menggambarkan kompleksitas hubungan di antara kelompok diaspora yang berbeda.
Melalui konflik ini, terlihat bahwa pandangan ideal tentang kesatuan dalam sebuah negara tidak selalu tercermin dalam realitas kompleks kehidupan sehari-hari. Mina dan keluarga Demetrius menjadi perwakilan dari ketidakcocokan antara harapan akan persatuan nasional dengan kenyataan perbedaan yang muncul di antara kelompok-kelompok diaspora. Oleh karena itu, konflik ini mempertanyakan validitas konsep negara ‘kesatuan’ dalam menyatukan kelompok-kelompok yang memiliki latar belakang budaya dan identitas yang beragam.
Melalui konflik antar dua kelompok minoritas ini, Nair mengintegrasikan pengalaman pribadinya dalam mengamati ketegangan antara kelompok minoritas di Amerika Serikat bagian selatan. Nair, yang meninggalkan India pada usia sembilan belas tahun, mengalami dan memahami secara langsung dampak ekonomi kolonisasi Inggris, terutama terkait dengan diaspora Asia. Nair mencatat bagaimana saat orang Asia pindah ke negara-negara baru, mereka sering menjadi pedagang yang cukup sukses, namun menciptakan ketegangan dengan komunitas pekerja di negara barunya. Khususnya dalam konteks riset pengembangan cerita film Mississippi Masala, Nair melihat bagaimana di Amerika bagian Selatan, kelompok diaspora Asia yang kerap membeli properti seperti motel, kerap menghasilkan konflik dan reaksi negatif dari komunitas Afrika-Amerika yang merasa tergeser.
Konflik ini disuarakan Demetrius di puncak emosional film di mana ia menyuarakan ketegangan dan kemarahan antara komunitas Afrika-Amerika dan India;
I’ve never left Mississippi, but I do know something about the world. I know that folks can come to this country and be as black as the ace of spades, but soon as they come here they start to act white — treat us like their doormats.
Dalam adegan ini, Nair menyoroti dampak asimilasi budaya, di mana orang-orang dengan identitas kulit hitam sering merasa kelompok diaspora Asia berperilaku seolah-olah mereka adalah “kulit putih” dan kurang hormat terhadap kelompok minoritas mereka. Melalui adegan ini, Nair menyoroti paralel antara konflik di Amerika Serikat dan apa yang terjadi pada keluarga Mina di Uganda pada tahun 1970-an. Seakan-akan konflik keluarga Mina, dan dinamika mereka terhadap orang keturunan Afrika akan merembet dan menyentuh mereka dimanapun mereka berada.
Meskipun film ini merayakan keberagaman dan percampuran budaya, Mira Nair secara bijak menghindari jebakan idealisasi palsu tentang negara kesatuan, yang kerap digambarkan secara reduktif; melupakan perbedaan, bergotong-royong, tak ada konflik. Dalam Mississippi Masala, Nair membawa penonton ke dalam realitas kompleksitas budaya diaspora yang nyatanya sulit dihadapi, merinci ketidakpastian dan dinamika yang mewarnai hubungan antar-ras, serta memperlihatkan bahwa kesatuan dalam keberagaman bukanlah proses yang bersifat linier atau mudah. Film ini justru mengungkapkan bahwa keharmonisan tidak selalu mudah dicapai dan seringkali terletak di tengah-tengah pertentangan dan konflik.
Hasilnya, Mississippi Masala tidak menyajikan pandangan naif tentang dunia multikultural; sebaliknya, Nair mengekspos kompleksitasnya. Film ini mengekspos paradoks tentang konsepsi negara kesatuan dengan menggambarkan betapa dinamisnya kehegemonian masyarakat yang ada di dalamnya. Nair menggambarkan bagaimana ide negara kesatuan memang imajiner, dengan menyelubungi keragamanan identitas sembari mempertahankan struktur kekuasaan dominan.
Mira Nair dalam dan Setelah Mississippi Masala
Dalam perjalanan riset dan pembuatan film Mississippi Masala, Mira Nair mengalami transformasi pribadi yang mendalam, khususnya terkait dengan ketertarikannya pada Uganda. Pada tahun 1989, saat Nair memulai eksplorasi mendalamnya di Uganda untuk meneliti konteks sosio-historis dan merumuskan film Mississippi Masala, Nair bertemu dengan Mahmood Mamdani, seorang penulis yang pada tahun 1972 mengalami pengasingan bersama 8000 orang Asia oleh Idi Amin. Setelah kemudian jatuh cinta dan menikahi Mamdani di tahun 1991, pertemuan ini tidak hanya menjadi katalisator dalam pengembangan filmnya tetapi juga memicu perubahan besar dalam kehidupan pribadinya.
Alhasil, setelah menyelesaikan Mississippi Masala, Nair membuat keputusan untuk tidak meninggalkan Uganda dan menjadikannya sebagai tempat tinggal tetapnya. Keputusan ini mencerminkan koneksi emosional dan pribadi yang mendalam antara Nair dengan Uganda dan diaspora di sana. Lebih dari 30 tahun sejak rilisnya film “Mississippi Masala,” Nair masih tetap setia menetap di Uganda. Ini bukan hanya sekadar pemilihan tempat tinggal; lebih dari itu, ia menjadi gambaran hidup dari karakter-karakter yang telah ia gambarkan dalam karyanya. Seakan-akan reflektivitas sebuah karya film dengan penciptanya dapat terjadi dalam dua arah yang saling menginspirasi.
Melalui keputusannya untuk tinggal di Uganda, Nair tidak menjadi warga diaspora yang pasif, tetapi juga menjalin hubungan mendalam dengan masyarakat lokal. Dalam upayanya untuk mengatasi minimnya pelatihan pembuatan film di Afrika dan kekurangan representasi dalam Sinema Nasional, Nair mendirikan Maisha Film Lab. Sekolah film ini beroperasi di beberapa negara, termasuk Uganda, Tanzania, Kenya, dan Rwanda. Dengan sekolah ini, Nair memfasilitasi pelatihan film demi membuka pintu bagi generasi baru pembuat film di Afrika untuk mewujudkan potensinya.
Nair terus berkarya di Afrika, India, maupun Hollywood. Melalui film-film seperti The Perez Family (1995), Monsoon Wedding (2001), The Namesake (2006), dan yang terakhir, Queen of Katwe (2016), yang merupakan film pertamanya yang berlatar di Uganda, Nair terus mengeksplorasi dinamika-dinamika dan bermacam konflik identitas yang muncul di berbagai budaya. Lewat film-film ini, Nair bersifat sebagai sutradara yang beroperasi melintasi budaya dan batasan, menciptakan suatu estetika hibrida yang baru. Dengan seringnya berpindah-pindah tempat tinggal di berbagai negara, Nair mampu merasuki dan merasakan banyak realitas dunia secara mendalam, dan hal ini tercermin dalam karya-karyanya. Nair tidak hanya menceritakan kisah-kisah yang bersifat universal, tetapi juga memberikan pandangan unik dari sudut pandangnya yang kaya akan warna dan pengalaman.
Dalam melihat konsep negara kesatuan yang tercermin dalam Mississippi Masala, dapat disadari bahwa film ini tidak hanya sekadar cerminan visual dari keragaman budaya yang ada di Amerika Serikat, tetapi juga merupakan kritik tajam terhadap paradigma kesatuan nasional. Melalui naratifnya, kita menyaksikan bagaimana masyarakat dominan seringkali mengimajinasikan ide persatuan yang seragam, namun di balik tirai ini, terdapat kontradiksi dan ketidaksesuaian yang menyelubungi realitas diaspora.
Konflik yang dihadapi oleh Mina, sebagai perwakilan diaspora India-Uganda, dan Demetrius, seorang pria Afrika-Amerika, mengungkap bagaimana norma-norma kesatuan nasional dapat bertentangan dengan realitas kehidupan mereka. Dalam konteks ini, konflik antara keluarga Mina dan harapan individualnya untuk menentukan arah hidupnya sendiri menjadi cerminan dari ketegangan yang lebih besar di antara masyarakat diaspora. Pertentangan antara nilai-nilai tradisional dan ambisi individu menciptakan narasi yang melibatkan tidak hanya konflik antar-ras, tetapi juga konflik internal dalam menyikapi perubahan identitas dalam negara tempat tinggal yang baru.
Sehingga pentingnya Mississippi Masala terletak pada kemampuannya untuk menggambarkan bahwa kesatuan nasional tidak selalu mencerminkan keberagaman yang sebenarnya. Film ini menjadi sebuah pandangan kritis terhadap cara negara kesatuan seringkali mengaburkan realitas keragaman budaya dan identitas diaspora. Kita melihat bahwa proses asimilasi budaya seringkali dipaksa oleh harapan masyarakat dominan, menciptakan konflik internal dan eksternal yang kompleks.
Selain itu, konflik antar kelompok diaspora yang diilustrasikan dalam film menyoroti kompleksitas identitas yang dimiliki oleh setiap individu dan kelompok. Perbedaan pengalaman diaspora antara karakter Mina dan Demetrius menunjukkan bahwa waktu, sejauh mana proses adaptasi telah terjadi, dan dinamika lintas-generasi membentuk perspektif dan identitas. Inilah yang membuat Mississippi Masala lebih dari sekadar kisah romansa; film ini menggali secara mendalam tentang dinamika internal dan interkultural dalam komunitas diaspora.
Secara keseluruhan, Mississippi Masala menjadi panggung untuk mengeksplorasi bagaimana konsep negara kesatuan, terutama dalam realitas Amerika Serikat, dapat menyembunyikan dinamika yang lebih dalam mengenai keberagaman budaya dan identitas diaspora. Film ini merangsang pertanyaan tentang makna sebenarnya dari “persatuan nasional”, mengingat bahwa keberagaman dan kompleksitas seringkali tertutupi oleh paradigma yang reduktif dan bahkan imajiner. Oleh karena itu, Mississippi Masala menjadi suara kritis yang mengajak penonton untuk mempertanyakan dan merenungkan makna sebenarnya dari konsep kesatuan nasional dalam masyarakat yang terus berubah dan beragam.
_________________
ABC News. “Mira Nair’s Film School Empowers Africans to Tell Their Life Stories.” ABC News, 12 Sept. 2016, abcnews.go.com/Entertainment/inside-film-school-helping-africans-life-stories/story?id=41958798.
Anbarasan, Ethirajan, and Amy Otchet. “Mira Nair: An Eye for Paradox.” The UNESCO Courier, Nov. 1998, pp. 46–49. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000114158.
Cole, Janis, and Holly Dale. Calling the Shots: Profiles of Women Filmmakers. Kingston, Ont. : Quarry Press, 1993. https://archive.org/details/callingshotsprof0000unse/page/89/mode/1up.
Foster, Gwendolyn Audrey. Women Filmmakers of the African and Asian Diaspora: Decolonizing the Gaze, Locating Subjectivity. 1997, muse.jhu.edu/chapter/772861.
Hadadi, Roxana. “Mira Nair on Making Mississippi Masala a Radical Act of Love.” Vulture, 11 Apr. 2022, www.vulture.com/2022/04/mira-nair-on-making-mississippi-masala.html.
Marks, Laura U., and Dana Polan. “The Skin of the Film.” Duke University Press eBooks, 2000, doi:10.1215/9780822381372.
Shohat, Ella, and Robert Stam. “Unthinking Eurocentrism.” Routledge eBooks, 2014, doi:10.4324/9781315771441.