Metamorfosa Karakterisasi dan Bentuk Naratif dalam Alih Wahana Novel Telegram

Bintang Panglima
4 min readApr 20, 2021

--

Novel Telegram karya penulis Putu Wijaya merupakan novel dengan moda naratif stream of consciousness, di mana bentuk dan gaya penulisannya mencoba untuk mengilustrasikan rasa dan alur berpikir seorang karakter secara natural dan mengalir. Pada umumnya, gaya berpikir manusia sangat abstrak dan berisik, berpindah dan melompat dari satu pikiran ke yang lain, dan novel ini sepenuhnya sukses dalam menggambarkan itu. Dalam menggunakan gaya stream of consciousness, aliran pemikiran tokoh utama yang kerap rumit dan abstrak, berhasil ditulis menjadi sesuatu yang indah dalam ambiguitasnya sendiri.

Penggunaan gaya naratif stream of consciousness otomatis dapat memperkaya karakterisasi tokoh utama; di mana saat alur cerita sepenuhnya berjalan bersamaan dengan aliran berpikir tokoh utama, hal itu dapat memberikan ruang bagi pembaca untuk lebih mengenal sang tokoh dengan intim dan lebih mikroskopis. Segala isi pikiran tokoh sepenuhnya diketahui oleh pembaca, dan seperti spektator, pembaca menumpang dalam kesadaran tokoh utama dan menghadapi runtutan masalah dalam novel secara lebih dekat.

Tokoh Aku dalam novel ini merupakan seorang wartawan asli Bali yang terombang-ambing dalam hiruk-pikuk kehidupannya sebagai seorang ayah angkat di Jakarta. Dirinya bimbang dalam segala hal, tidak mampu membuat keputusan cepat, dirinya menjunjung modernitas dan inkonvensionalitas kehidupannya di Jakarta, namun secara sentimental mendambakan pernikahan yang tradisional. Dirinya yang modern dan dunia yang masih cenderung tradisional bertempur. Ditambah masalah lama yang muncul kembali mengenai Ibu asli Sinta yang membuatnya lebih terputus dengan realitas.

Dalam novel, realitas memudar dengan fantasi. Dan ambiguitas ini berjalan terus tanpa interupsi. Realita dan fantasi tidak dijadikan sesuatu yang hitam-putih. Melainkan melebur menjadi naratif yang membuat garuk kepala namun memikat.

Menurut saya film adaptasi novel ini karya sutradara Slamet Rahardjo Djarot, yang juga berjudul Telegram tidak berhasil menerjemah esensi Novel secara optimal. Meskipun skenario juga ditulis bersama Putu Wijaya, menurut saya hal yang membuat novelnya begitu kuat dan menarik diubah menjadi sesuatu yang terlalu aman setelah dialih-wahanakan. Pertama, dari segi naratif ambiguitas realitas-fantasi hampir hilang. Fantasi tetap datang beberapa saat ke dalam realitas, tetapi tetap terdapat distingsi di antaranya yang menurut saya terlalu eksplisit. Tokoh Rosa yang hidup dalam imajinasi tokoh Aku sudah jelas bentuk keberadaannya dari awal film, sedangkan di novel terdapat ketidakjelasan yang terbentang luas sepanjang cerita.

Meskipun terdapat beberapa adegan pendek atau vignette yang simbolis dan puitis untuk menggambarkan kondisi pikiran tokoh utama, menurut saya nuansa aliran pemikiran sang tokoh yang penuh dengan ketidakpastian di dalam novel tidak berhasil diterjemahkan. Hal ini dikarenakan ada beberapa adegan yang kaya dengan arti dan emosi dalam novel terpangkas dalam film menjadi adegan yang sederhana.

Saya paham pada beberapa penghapusan adegan novel, seperti adegan tokoh Aku onani melihat kalender. Hingga pembicaraan masalah anak sahabat tokoh Aku yang terlahir cacat. Adegan-adegan tersebut dihapus karena film pada dasarnya dikonsumsi lebih masif oleh masyarakat bila dibandingkan dengan buku, dan agar lulus sensor dan ditonton, adegan-adegan yang dapat menimbul kontroversi terpaksa dipangkas atau bahkan dihapus.

Begitu juga dengan karakterisasi. Watak tokoh Aku dalam film menurut saya sangat berbeda dengan novel. Meskipun keras, dalam novel sangat terasa kelembutan yang berada dibalik itu. Khususnya pada dinamika hubungan tokoh tersebut dengan anak angkatnya, Sinta. Hubungan mereka dalam Novel mereka penuh chemistry, cinta ayah-anak yang dimiliki mereka merajai segala kekotoran dan kerasnya watak tokoh Aku. Namun, dalam film Sujiwo Tejo memerankan seorang pria yang acuh dan tak berkarisma.

Kasih besar yang dirinya miliki terhadap Sinta hanya terlihat samar-samar, sehingga perihal konflik Sinta yang ingin diambil kembali oleh Ibu kandungnya, tidak terasa setegas dalam novel. Bahkan hubungan yang dirinya miliki dengan Rosa tidak terasa organik, sulit untuk mempercayai bahwa mereka sebetulnya saling mencintai, tokoh Aku lebih terkesan menyebalkan daripada romantis dan cerdas.

Orang tua kandung Sinta juga mengalami perubahan yang cukup besar. Di dalam novel, Orang tua kandung yang tersisa hanyalah Sang Ibu. Tokoh tersebut dikarakterisasikan sebagai orang yang sopan dan konservatif dalam berbicara. Dalam mencoba untuk mengambil hak asuh Sinta, dirinya digambarkan malu dan menderita. Namun, dalam film tokoh tersebut secara monoton dijadikan seorang wanita yang serakah dan licik. Rela menculik Sinta sepulang sekolah pada waktu siang bolong seperti kriminal menurut saya tidak masuk dalam logika cerita.

Mungkin keputusan ini diambil untuk menciptakan tokoh antagonis yang lebih konvensional. Tokoh yang seharusnya memberi tokoh Aku dilema besar mengenai kesejahteraan sosio-ekonomis anak angkatnya dibuat satu dimensi dan datar. Tokoh Aku jadi kehilangan momen untuk merendahkan ego diri demi anaknya yang dirinya cintai. Dalam Novel, momen saat tokoh Aku berterus-terang dengan Sinta dan menjelaskan kondisi Ibunya yang ingin mengadopsinya kembali memberi tokoh Aku sekilas humanisme dan empati yang memperkuat karakternya sebagai manusia yang cerdas dan baik pada dasarnya. Namun momen itu sepenuhnya dibuang dalam film .

Tetapi, segala ketidakpuasan saya ini dapat sepenuhnya dimengerti. Pertama, interpretasi saya terhadap novel belum tentu sama dengan ratusan ribu pembaca lain. Bahkan kemungkinan besar pandangan saya terhadap novel ini tidak sinkron dengan intensi Putu Wijaya sewaktu menulis, begitu juga dengan Slamet Rahardjo sebagai sewaktu menyutradarai film. Lapisan-lapisan interpretasi ini adalah bagian besar dari proses alih wahana. Dengan perubahan medium, tidaklah asing bila terdapat hal-hal yang secara tidak langsung terdistorsi untuk menyesuaikan persepsi dan intensi “author” yang baru.

.

.

Esai ini awalnya ditulis sebagai tugas mata kuliah Sastra dan Film bersama Seno Gumira Ajidarma

--

--

Bintang Panglima
Bintang Panglima

Written by Bintang Panglima

An aspiring filmmaker and film writer based in Indonesia. Start a conversation with me through my e-mail: bintangpanglima@gmail.com

No responses yet