Meantime (1983) : Ketersesatan Batin di Tengah Degradasi Ekonomi Era-Thatcher

Bintang Panglima
6 min readSep 1, 2021

--

Meantime (1983, Mike Leigh)

Sepanjang awal tahun 1980-an, Inggris memasuki resesi terbesar semenjak Perang Dunia Ke-II. Degradasi ekonomi besar-besaran ini mengakibatkan angka pengangguran meningkat secara drastis, khususnya di kalangan pekerja kelas bawah. Akibat resesi, atmosfer suburbia East End kota London yang merupakan episenter dari kemiskinan dan penduduk working class penuh dengan perasaan suram dan amarah.

Kemiskinan dan pengangguran di East End memunculkan estetika distingtif pada area kota London tersebut. Apartemen/flat mungil berdiri rapat menciptakan nuansa klaustrofobik bagi para penduduk, gedung-gedung pabrik berubah menjadi puing akibat demolisi, pub lokal menjadi pusat perkumpulan anak-anak muda yang hidup tanpa pekerjaan maupun ambisi

Kondisi suram dan depresif kota East End tersebut dijadikan latar dari film kedua Mike Leigh, dimana dirinya memberi potret suasana era itu melalui huru-hara sebuah rumah tangga kelas bawah. Awalnya tayang sebagai film televisi untuk Channel 4 di Inggris, Meantime adalah bukti awal dari cinta dan ketertarikan mendalam Leigh terhadap kehidupan kelas pekerja atau buruh.

Film ini dibuka dengan sebuah pertemuan keluarga intra-kelas. Barbara (Marion Bailey), seorang ibu rumah tangga teredukasi kelas menengah ke atas, mengundang keluarga kelas bawah kakaknya, Mavis (Pam Ferris). Dari pembuka film, kontras kedua saudara perempuan sudah terlihat jelas. Mulai dari cara berpakaian kedua keluarga, gaya rambut, hingga cara mereka berbicara dan berbahasa. Setting rumah dua lantai Barbara, tempat kedua keluarga bertemu menjadi latar pertemuan kedua kelas tersebut. Dilengkapi dengan perbincangan-perbincangan yang canggung dan perabot rumah tangga yang bersih, modern, dan asing bagi anggota keluarga kelas bawah.

Pada adegan awal ini, kedua karakter utama dalam film mulai diintroduksi kepada penonton, mereka adalah kedua anak laki-laki dari Mavis yang sudah dewasa; Mark (Phil Daniels) dan Colin, yang diperankan oleh Tim Roth dalam salah satu peran pertama dalam karirnya. Mark dan Colin memasuki ruang tamu dengan pakaian kotornya dan berulah dengan cara menyebalkan mereka.

Di waktu yang sama, pada saat Mavis mulai mengeluh, mengomeli dan bersikap pahit kepada mereka, Barbara justru bersikap berlawanan, dengan nada lembut dan kasih sayang, dirinya dapat menegur setiap mereka berulah.

Namun perbedaan sosio-ekonomis ini tidak hanya dilambangkan melalui kedua saudara perempuan, melainkan kedua rumah tangga secara keseluruhan. Keluarga Pollock yang terdiri dari Mark, Colin, Mavis, dan Frank (sang ayah) bertindak sangat pahit dan agresif terhadap satu sama lain. Di dalam apartemen mungil mereka yang mulai bobrok, yang mereka lakukan sehari-hari hanyalah bertengkar dan saling berteriak.

Di sisi lain kota, kehidupan keluarga Barbara dengan suaminya John (Alfred Molina) diisi penuh dengan kenyamanan. Di saat jutaan warga Inggris saling berebut lowongan pekerjaan, Barbara memegang kemewahan untuk tidak perlu bekerja, menciptakan suatu kontras antara keberadaan ekonomi keluarga mereka dengan kondisi ekonomi bangsa.

Keluarga Pollock adalah salah satu dari ratusan ribu keluarga yang terdampak secara eksesif oleh resesi ekonomi era-Thatcher. Di mana di antara mereka, hanya Mavis yang masih memiliki pekerjaan. Melainkan Colin, Mark, dan Frank, seperti jutaan pekerja lainnya terpaksa mencari kenyamanan dalam pengangguran mereka.

Ekosistem destruktif yang terlihat dalam rumah tangga keluarga Pollock juga ikut terekstensi ke dalam hubungan Mark dan Colin sebagai kakak dan adik. Mark sebagai seorang karakter digambarkan sebagai orang yang cerdas namun sering termakan oleh ego dan amarahnya, sedangkan Colin merupakan karakter yang sangat pemalu, dan canggung secara sosial. Mark sering meledek Colin, memanggilnya “muppet” berulang-ulang kali sepanjang film. Keduanya adalah saudara kandung dengan karakterisasi yang sangat berlawanan, menimbulkan dinamika unik antara dua karakter utama sepanjang berjalannya film.

Film ini tersegmentasi menjadi beberapa bagian yang terasa episodik, dimana antar segmen mengandung peristiwa-peristiwa yang hanya terhubung secara longgar, dengan sebagian besar mengikuti Mark dan Colin dalam menavigasi penganggurannya. Hal ini membuat Meantime menjadi film yang tidak memfokuskan dirinya terhadap plot, melainkan pada serangkaian karakter yang unik dan spesifik demi menunjang sebuah statement sosio-ekonomis

Karakterisasi memang sudah menjadi salah satu keahlian hebat dari Leigh. Film beliau lainnya seperti Naked (1993), Vera Drake (2004), hingga Happy-Go-Lucky (2008) atau Mr. Turner (2014) memang seringnya terfokus pada satu karakter utama yang spesifik dan dirancang dengan sangat hebat.

Namun, yang menjadi sedikit anomali dalam Meantime adalah Leigh memberi jarak jelas antara penonton dan karakter utama; kita sebagai penonton tidak diberikan insight mendalam untuk masuk kedalam tubuh karakter dan sepenuhnya memahami mereka. Intensi ini menunjang pengalaman penonton dalam menonton, kita seakan-akan menyaksikan mereka melalui luar jendela atau semacam barrier, dan dengan cara yang unik, ketersesatan batin yang dirasakan oleh Mark dan Colin ikut terproyeksikan kepada penonton.

Leigh tidak mencoba untuk menyaring kepribadian dan interaksi para karakter untuk seakan-akan memurnikan dan memperjelas efek dan fungsinya. Goals, needs, dan desire yang dimiliki oleh para karakter disajikan secara campur aduk dan abu-abu. Disaat film-film populer Hollywood pada era 1980-an cenderung melihat moralitas dan motif para karakter dengan cara yang begitu mutlak, dan dengan terlalu sederhana melabeli tiap karakter; dia baik, dia buruk, dia pemimpi, dia pemalas, dalam karya-karya Leigh, karakter tidak ada yang salah maupun benar, tidak ada yang baik maupun buruk. Sebagai filmmaker, Leigh menginginkan penonton menjadi bagian dari eksplorasinya, secara mendasar, tidak menciptakan karakter yang benar-benar sesuatu, setiap karakter berbeda-beda dan bahkan kadang kontradiktif.

Secara mendasar, Meantime merupakan eksplorasi perasaan berantakan manusia yang dapat timbul di tengah krisis sosial. Era dimana amarah kuat terhadap pemerintahan atau kekuasaan pada umumnya terasa jelas dalam atmosfer kota, juga dimana bosan berubah menjadi bagian dari normalitas anak muda.

Leigh memotret kondisi yang seringnya suram dan depresif namun penuh dengan autentisitas. Menciptakan karakter yang berdiri dalam dua sisi spektrum yang berlawanan, bertujuan untuk mengeksplorasi sebuah krisis yang sama dari dua kacamata yang berbeda. Dan di saat yang sama, penonton tidak dituntut untuk memilih sebuah sisi yang “benar”, setiap karakter memberi perspektif dengan kejujurannya masing-masing.

Leigh tidak percaya terhadap kejujuran yang “absolut.” Hal ini terlihat jelas pada babak ke-3 film, dimana saat Barbara mendatangi Colin untuk memberikannya sebuah pekerjaan untuk mengecat tembok dalam rumahnya. Dari awal datangnya Barbara ke apartemen mungil keluarga Pollock, terlihat jelas bahwa “pekerjaan” yang diberikan kepada Colin merupakan pekerjaan yang hanya datang dari rasa kasihan Barbara, bukan sebuah pekerjaan yang diberikan atas kemampuan yang dimiliki Colin.

Sebagai orang yang canggung dan pendiam, setelah bujukan yang cukup lama, Colin menerima pekerjaan tersebut. Namun Mark, melihat tembus fasad Barbara, dan mencoba untuk menghentikan Colin dari mengambil pekerjaan tersebut. Dalam kondisi ini terdapat tiga perspektif yang berbeda-beda; Barbara ingin memberikan keponakannya pekerjaan untuk membantu dia dan keluarganya secara finansial, Colin ingin mendapatkan pekerjaan ditengah krisis moneter dimana angka pengangguran sangat masif, dan terakhir, Mark menginginkan adiknya untuk memiliki integritas atau pendirian dalam hidupnya dan tidak menerima sesuatu yang hanya datang dari dasar belas kasihan.

Pemahaman Barbara tentang apa yang dirinya lakukan, Mark lakukan, dan Colin lakukan berbeda dari pemahaman Mark atau Colin tentang apa yang mereka masing-masing lakukan. Pandangan mereka terhadap masing-masing kontradiktif, menciptakan kebenaran mereka masing-masing. Ketiga perspektif itu sama-sama benar dan sama-sama terbatas. Ketiganya sama-sama valid — dan sama-sama bias dan parsial. Leigh menggambarkan bagaimana setiap orang memiliki kebenarannya sendiri, berdasarkan siapa mereka, posisi mereka dalam masyarakat, dan pengalaman yang membawa mereka ke dalam posisi tersebut.

Leigh memiliki ketertarikan dan hormat besar terhadap rakyat kecil dalam masyarakat. Rakyat dengan kekurangan, ketersesatan dan segala jenis komprominya demi bertahan hidup menjadi bagian besar dari filmografi Leigh kedepannya. Leigh sebagai filmmaker tidak memiliki niat untuk mempercantik atau menyederhanakan realitas untuk menarik minat penonton. Baginya, realita sebagaimana adanya, sudah cukup baik.

DAFTAR PUSTAKA

Cardinale-Powell, Bryan, and Marc DiPaolo. “Character and Plot: Meantime and Four Days in July.” Devised and Directed by Mike Leigh, Reprint, e-book, Bloomsbury Academic, 2015, p. 36.

Carney, Ray, and Leonard Quart. “A Discussion of Meantime.” The Films of Mike Leigh (Cambridge Film Classics), Illustrated, Cambridge University Press, 2000.

O’Sullivan, Sean. “Meantime: Margins and Centers.” The Criterion Collection, 18 Aug. 2017, www.criterion.com/current/posts/4842-meantime-margins-and-centers.

Whitehead, Tony, et al. Mike Leigh (British Film-Makers). Manchester University Press, 2007.

FILMOGRAFI

Meantime (Mike Leigh, 1983)

--

--

Bintang Panglima
Bintang Panglima

Written by Bintang Panglima

An aspiring filmmaker and film writer based in Indonesia. Start a conversation with me through my e-mail: bintangpanglima@gmail.com

No responses yet