Jejak Sinema Atraksi dalam Naratif Modern: F for Fake (1973, Orson Welles)

Bintang Panglima
15 min readJun 5, 2024

--

Sinema, sebagai bentuk seni dinamis yang terus berkembang, telah mengalami evolusi yang signifikan sepanjang perjalanannya. Dalam panorama sejarah sinema, terdapat periode yang secara mendasar memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan medium ini, yaitu era Sinema Atraksi atau Cinema of Attraction. Istilah ini, yang diperkenalkan oleh teoretikus film, Tom Gunning, mengacu pada suatu gaya pembuatan film yang mendominasi masa awal perkembangan sinema. Pada periode ini, penekanan diberikan pada interaksi langsung dengan penonton melalui pemanfaatan spektakel visual dan ekshibisionisme.

Sinema Atraksi menandai pergeseran fokus dari model naratif tradisional yang berkembang di industri teater. Gaya pembuatan film ini menempatkan penonton dalam posisi lebih aktif, mengeksplorasi pengalaman langsung melalui penggunaan efek visual yang mencolok dan dramatis. Spektakel dan kekayaan visual menjadi pusat perhatian, menjauh dari model naratif konvensional yang lebih bersifat linear.

Perlu dicatat bahwa Sinema Atraksi bukan sekadar presentasi visual yang mencolok tanpa makna. Lebih dari itu, Sinema Atraksi melibatkan penonton dalam pengalaman sinematik yang lebih dinamis dan interaktif. Teoritikus seperti Gunning menekankan pentingnya interaksi langsung antara karya film dan penonton, di mana pemutaran film menjadi suatu bentuk pertunjukan yang melibatkan penonton secara aktif.

Gunning dan studi-studi selanjutnya dalam era ini, kerap menempatkan karakteristik interaktif Cinema of Attraction dalam adanya peran seorang lecturer atau pembawa acara. Lecturer memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan, menghidupkan, dan memperkaya pemahaman penonton terhadap gambar-gambar yang ditampilkan. Mereka tidak hanya menjadi narator pasif, melainkan membawa dimensi interaktif dalam setiap pertunjukan sinema.

Peran seorang lecturer dalam Sinema Atraksi bisa diibaratkan sebagai jembatan antara layar film dan penonton. Ini menciptakan keterlibatan penonton yang berbeda dari film-film naratif modern yang lebih menempatkan penonton pada posisi yang relatif lebih mandiri. Terlihat dari catatan-catatan historis yang ada, para lecturer cenderung bersifat sebagai pemandu pada aspek-aspek point of interest dalam film, daripada menyajikan cerita lengkap untuk diikuti penonton.

Pembahasan mengenai Sinema Atraksi memang sering tertuju pada era awal perkembangan sinema, tetapi apakah relevansinya dapat ditemukan dalam konteks sinema modern? Pertanyaan ini mendorong kita untuk menggali lebih dalam apakah konsep Sinema Atraksi masih memiliki keberlakuan dan relevansi di tengah kemajuan dan kompleksitas sinema kontemporer. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan perubahan selera penonton, sinema modern cenderung mengeksplorasi berbagai bentuk naratif dan penyajian visual.

Dalam era modern, konsep Sinema Atraksi juga diidentifikasi dalam fenomena-fenomena eksperimentasi naratif dalam sinema modern. Film-film yang menarik penonton dengan cara yang lebih eksperimental, memainkan bentuk, atau mengeksplorasi teknik-teknik naratif yang baru, sering kali menciptakan pengalaman yang mencerminkan semangat Sinema Atraksi. Keberadaan pembawa acara atau narator eksternal, seolah menjadi seorang lecturer, turut membimbing penonton melalui aspek-aspek yang kompleks dan tidak konvensional dari sebuah karya.

Dalam konteks penelitian ini, film F for Fake karya Orson Welles dianggap sebagai manifestasi modern dari prinsip Sinema Atraksi. Welles, sebagai seorang auteur terkenal, dikenal dengan eksperimentasinya dalam naratif film. Dalam F for Fake, Welles menggabungkan berbagai elemen visual, dokumenter, dan fiksi dengan cara yang tidak konvensional. Penggunaan teknik naratif yang inovatif dengan meretas batas-batas konvensional penuturan naratif membuat film ini menarik untuk disandingkan dengan prinsip-prinsip Sinema Atraksi yang lekat dengan perkembangan sinema awal.

Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki lebih lanjut bagaimana F for Fake mengadopsi konsep-konsep Sinema Atraksi dalam naratifnya, serta peran Orson Welles sebagai seorang lecturer dalam penyajian naratif film. Penulis akan berusaha memahami bagaimana film tersebut melibatkan penonton dalam suatu pengalaman sinematik yang mendalam, merangsang pemikiran, dan memberikan dimensi tambahan pada film sebagai medium seni yang dinamis

Sinema Atraksi merupakan istilah yang merujuk pada suatu gaya pembuatan film yang mendominasi fase awal sejarah sinema, khususnya film-film yang diproduksi antara tahun 1895 hingga sekitar 1907. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Tom Gunning sebagai suatu mode pembuatan film yang menekankan interaksi langsung dengan penonton melalui atraksi visual dan ekshibisionisme.

Sinema Atraksi, pada dasarnya, menitikberatkan pada penggunaan elemen-elemen visual yang menciptakan kekaguman, yang berbeda dengan sinema naratif yang muncul kemudian dengan fokus pada integrasi naratif dan penyerapan penonton ke dalam alur cerita.

Karakteristik Sinema Atraksi dalam Sinema Awal

Dalam esai yang berjudul The Cinema of Attraction[s]: Early Film, Its Spectator and the Avant-Garde, Gunning mengembangkan konsep Sinema Atraksi sebagai representasi khas dari sinema pada era ini. Gunning menyoroti esensi gaya sinematik ini yang tidak hanya berkutat pada reproduksi gerakan alam atau sebagai bentuk teater, melainkan sebuah medium yang menekankan pada pameran visual dan interaksi langsung dengan penonton.

Ekshibisionisme menjadi poin sentral dalam Sinema Atraksi, di mana film secara aktif mengekspos dirinya kepada penonton. Gunning memberikan contoh tindakan aktor yang melihat langsung ke kamera sebagai upaya untuk mendirikan kontak langsung dengan penonton. Meskipun tindakan ini kemudian dianggap merusak ilusi realistis, pada saat itu, ini dijalankan dengan semangat untuk menarik perhatian penonton secara langsung.

Gunning juga menyoroti keterlibatan langsung penonton. Film diciptakan untuk menarik perhatian penonton dengan menampilkan sesuatu yang menarik, baik itu ilusi realistis dari Lumière Bersaudara atau ilusi magis karya Méliès. Pengalaman hiburan menjadi kunci, di mana penonton awalnya datang ke pameran untuk melihat demonstrasi mesin-mesin sinema, menjadikan sinema itu sendiri sebagai daya tarik utama.

Salah satu karakteristik utama dari Sinema Atraksi Tom Gunning mengacu pada sifat non-illusionistic, non-deceptive, dan non-voyeuristic dalam Sinema Atraksi. Film-film dalam gaya ini tidak bertujuan untuk menciptakan ilusi yang menipu penonton atau memberikan pengalaman voyeuristik secara diam-diam. Sebaliknya, film-film ini bersifat eksibisionistik dan bertujuan untuk memukau penonton melalui adegan-adegan visual yang spektakuler.

Pertama-tama, non-illusionistic mengindikasikan bahwa film-film dalam gaya sinema awal tidak berusaha menciptakan ilusi yang menipu penonton. Artinya, mereka tidak berfokus pada pembentukan dunia yang tampak nyata atau membuat penonton percaya sepenuhnya pada keaslian adegan yang ditampilkan. Sebaliknya, Sinema Atraksi lebih terbuka terhadap sifat konstruksi visualnya, mengundang penonton untuk menikmati pengalaman sinematik sebagai suatu bentuk atraksi yang terbuka.

Kedua, non-deceptive mencerminkan bagaimana sinema awal menggunakan pendekatan yang jujur dalam menyajikan adegan-adegan di layar. Film-film Sinema Atraksi tidak menggunakan trik atau manipulasi visual untuk mengecoh penonton. Mereka menawarkan pengalaman yang terbuka dan transparan, di mana setiap unsur visual disajikan secara eksplisit tanpa maksud menyembunyikan atau memanipulasi informasi. Pendekatan yang tidak mengecoh ini memperkuat eksibisionisme Sinema Atraksi, di mana keaslian visual menjadi fokus utama.

Ketiga, non-voyeuristic merujuk pada penolakan terhadap pendekatan voyeuristik. Sifat non-voyeuristic berarti bahwa Sinema Atraksi tidak mengadopsi pandangan voyeuristik yang diam-diam mengamatinya. Tidak seperti naratif konvensional sinema modern yang mungkin menciptakan pengalaman mengintip, dimana karakter dalam layar tidak sadar dirinya ditonton. Sinema Atraksi secara aktif bersifat frontal dan terbuka, mengundang penonton untuk menyaksikan atraksi visual dengan penuh perhatian, tanpa unsur voyeuristik yang biasanya terkait dengan pengamat yang tersembunyi.

Bila kita melihat ketiga sifat ini dari kacamata sosio-historis, sifat non-illusionistic, non-deceptive, dan non-voyeuristic, pada dasarnya mencerminkan karakter sinematik pada masa awal perkembangan sinema, sekitar tahun 1895–1907. Saat itu, bentuk eksplorasi naratif yang kompleks yang kita kenal saat ini belum sepenuhnya terbentuk. Pada era di mana bentuk naratif sinematik masih dalam tahap awal, tujuan utama adalah menciptakan pengalaman menonton yang langsung, akrab, dan jauh dari kebingungan. Sehingga, sifat-sifat ini bukanlah hasil dari eksplorasi naratif, melainkan refleksi dari keadaan sinematik pada saat itu yang lebih menekankan pada daya tarik langsung untuk menghubungkan penonton dengan medium yang pada masa itu masih baru.

Lecturer sebagai Pemandu Ilusi

Pada era sinema awal, peran lecturer atau sangat penting karena sinema masih berada dalam tahap eksperimental dan pengembangan. Kehadiran lecturer memberikan pengarahan langsung kepada penonton, membantu mereka memahami dan mengapresiasi medium baru ini. Dengan adanya lecturer, penonton dapat diarahkan melalui pengalaman sinematik secara interaktif, menjelaskan aspek-aspek visual yang mungkin belum familiar bagi mereka.

Lecturer memberikan komentar langsung pada film waktu nyata atau real-time. Fungsinya tidak hanya menjelaskan adegan-adegan yang ditampilkan, namun juga menambahkan konteks yang mendalam, serta membimbing penonton melalui nuansa visual yang disajikan di layar. Melalui komentar langsung ini, tercipta pengalaman interaktif yang lebih intens dan mendalam. Selain itu, lecturer juga menjadi agen aktif dalam berinteraksi dengan penonton. Mereka tidak hanya memandu, tetapi juga mendorong partisipasi dan interaksi. Ini menjadi perbedaan signifikan dengan paradigma sinema modern, di mana fokusnya lebih condong pada penyerapan naratif.

Kemudian, kehadiran lecturer juga memberikan informasi tambahan untuk melengkapi film. Mereka tidak hanya menjadi pemandu, tetapi juga narator yang menyisipkan informasi tambahan, anekdot, atau cerita latar belakang. Tujuannya adalah memperkaya pemahaman penonton terhadap elemen-elemen visual yang disajikan dalam film, menciptakan pengalaman sinematik yang lebih mendalam.

Sehingga, lecturer membantu menggabungkan elemen-elemen yang beragam menjadi suatu kesatuan hiburan yang utuh. Mereka menjadi penghubung antara film dengan pertunjukan, menyerupai trik sulap, dan atraksi lainnya. Kemudian, sebagai seorang showman, lecturer bukan hanya memberikan informasi, tetapi juga menambahkan elemen hiburan pada acara secara keseluruhan. Dengan gaya presentasinya, karismanya, dan kemampuannya untuk memikat penonton, lecturer menambahkan dimensi hiburan yang melampaui film itu sendiri.

Namun, seiring dengan evolusi sinema yang beralih ke naratif yang lebih terstruktur, peran lecturer mulai mengalami penurunan. Transisi ke film naratif, di mana cerita menjadi mandiri dan tidak memerlukan komentar langsung, menandai pergeseran signifikan dalam pengalaman sinematik.Meskipun demikian, melihat evolusi sinema setelah tahun 1907, Gunning mencatat bahwa gagasan Sinema Atraksi tetap relevan bahkan setelah dominasi sinema naratif. Meskipun mengalami pergeseran, pendekatan ini tetap menjadi fondasi bagi praktik seni sinematik yang lebih eksperimental. Dengan memahami Sinema Atraksi, kita dapat memandang sejarah dan bentuk sinema dengan perspektif yang lebih luas dan lebih inovatif.

F for Fake (1973, Orson Welles)

Dalam konteks filmografi Welles, F for Fake (1973) muncul sebagai salah satu karya terakhir Welles dalam karirnya, menandakan evolusi yang mencolok dari karya-karya sebelumnya seperti Citizen Kane (1941) dan Touch of Evil (1958) yang relatif konvensional secara naratif. Sehingga, film ini menandakan eksplorasi Welles terhadap bentuk-bentuk sinematik yang lebih avant-garde dan eksperimental. Pergeseran gaya ini menjadi penting untuk dipahami dalam merangkai naratif film dan melihat evolusi Welles sebagai sutradara.

Dalam film ini, Welles menggabungkan elemen-elemen dokumenter dengan fiksi, menciptakan sebuah karya yang unik dan provokatif. F for Fake membahas konsep keaslian dan kepalsuan dalam seni dan kehidupan, dengan fokus pada pemalsuan lukisan dan kehidupan palsu Elmyr de Hory, seorang seniman dan penipu ulung.

Naratif film berfokus Elmyr de Hory dan Clifford Irving, seorang penulis yang menulis biografi palsu tentang De Hory. Welles, dalam perannya sebagai narator, memberikan sentuhan pribadi pada film dengan kehadiran dirinya sebagai karakter yang mengomentari dan merenungkan makna dari kebohongan dan keaslian.

F for Fake menjadi karya yang menarik untuk dikaji karena penggabungan Welles antara citra visual, narasi, dan narasi lisan. Film ini menantang batas-batas konvensional sinema dan membangun refleksi mendalam tentang sifat subjektif kebenaran dan keaslian dalam seni dan kehidupan sehari-hari. Dengan hadir dalam film, Welles mengundang penonton untuk merenung dan berdialog dengan makna di balik setiap kanvas dan setiap kata yang diucapkan manusia dalam konteks keasliannya.

Adegan Pembuka sebagai Pengantar Atraksi

Film F for Fake dibuka dengan adegan yang di mana Orson Welles memainkan seorang karakter pesulap di sebuah stasiun kereta. Meskipun awalnya dapat dianggap sebagai presentasi konvensional seorang pesulap, Welles dengan cermat memberikan petunjuk bahwa pengalaman menonton ini akan melebihi ekspektasi dan memicu pemikiran yang mendalam.

Bagian awal adegan pembuka film ini memang belum sepenuhnya menghadirkan interaksi konkret dengan penonton, melainkan berfungsi sebagai pengantar yang memikat. Sikap voyeuristik yang terpancar dari karakter dalam film ini menambah dimensi konvensional pada permulaannya. Tampaknya, karakter-karakter tersebut tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi bagian dari karya film yang sedang disusun.

Penting untuk mencatat bahwa kehadiran Welles dalam film-filmnya, sebenarnya adalah ilusi pada tingkat tertentu. Welles telah dikenal sering tampil dalam film-filmnya sebagai aktor atau karakter yang sepenuhnya terlibat dalam alur cerita. Dalam filmografiya, Welles menciptakan ilusi dengan berperan sebagai karakter dalam filmnya, tanpa memberi petunjuk bahwa dia juga bertindak di balik layar sebagai sutradara.

Dalam konteks ini, karakter tersebut (pesulap) awalnya muncul sebagai bagian dari dunia fiksi yang tercipta, tanpa mengakui bahwa karakter tersebut diperankan oleh sutradara film itu sendiri. Namun, dalam adegan pembuka F for Fake, Welles secara langsung mengekspos ilusi ini. Melalui direct-address, Welles mengkonfirmasi kehadirannya sebagai aktor yang memerankan karakter pesulap dan juga menegaskan posisinya sebagai pemandu film ini seterusnya. Dengan demikian, film ini menjadi semacam permainan antara ilusi dan realitas, di mana Welles sebagai sutradara memimpin penonton melalui proses pembuatan film itu sendiri.

Dalam adegan yang sama, Welles dengan tegas menyampaikan kepada kamera bahwa pertunjukan sulap ini adalah konstruksi film itu sendiri. Melalui munculnya kamera secara tiba-tiba, latar belakang putih, dan kru film sebagai alat produksi film, Welles mengubah sikap voyeuristik menjadi pengakuan bahwa kita sebagai penonton, sedang menyaksikan sebuah karya seni yang dirinya susun. Keberadaan Welles sebagai pesulap, yang awalnya tampaknya hanya menjadi bagian dari dunia fiksi, berubah menjadi pemandu yang mengatakan bahwa setiap aspek dalam film ini, termasuk dirinya sebagai sutradara, merupakan bagian dari sebuah ilusi.

Ilusi ini kemudian lebih terbongkar saat latar belakang putih yang awalnya hanya menjadi latar belakang Welles di stasiun kereta secara ajaib membawanya masuk ke dalam set film. Namun, seperti tema umum film ini, ilusi ini tidak bertahan lama. Welles segera membongkarnya, menjelaskan bahwa kita menyaksikan film tentang “trickery” atau pemalsuan, dan bahkan film yang kita tonton saat ini adalah bentuk trickery dalam dirinya sendiri. Pembongkaran ini memberikan lapisan kedalaman pada konsep Sinema Atraksi, menunjukkan bagaimana film ini tidak hanya menarik perhatian penonton tetapi juga dengan sengaja menciptakan dan membongkar ilusi sinematik.

Melalui adegan pembuka ini, Welles memberikan dasar yang kuat mengenai tone dan pendekatan film. Film yang kita saksikan bukan hanya sekadar pertunjukan sulap, tetapi sebuah karya seni yang mendekonstruksi ilusi, bukan hanya dalam seni secara umum, tetapi juga dalam medium sinematik. Welles mengajak penonton untuk merenung tentang hakikat seni, keaslian, dan daya tipu dalam karya seni itu sendiri. Selama film berlangsung, Welles secara langsung mengajak penonton untuk mempertanyakan apa yang nyata dan apa yang hasil dari konstruksi film, menciptakan pengalaman sinematik yang langsung.

Adegan awal mencerminkan peran Sinema Atraksi dengan cara yang menarik, mengingatkan pada era Sinema Atraksi di mana pengalaman hiburan menjadi kunci. Pada awal film, penonton diperkenalkan pada adegan sulap yang dilakukan oleh Welles, disinilah pengalaman hiburan dimulai, dengan Welles berperan sebagai pesulap yang menarik perhatian penonton secara langsung terhadap aksinya. Hal ini mencerminkan bagaimana Tom Gunning sering mengilustrasikan mekanisme Sinema Atraksi dalam sinema awal sebagai pertunjukkan sulap, di mana penonton terlibat dalam pengalaman langsung dan interaktif. Adegan awal ini dengan fokus pada trik sulap yang dilakukan oleh Welles, mencerminkan konsep Sinema Atraksi dengan cara yang mencolok. Seperti sulap yang merangsang keingintahuan dan keterlibatan penonton, film ini juga merangsang rasa ingin tahu penonton tentang bagaimana ilusi dan rekayasa film diciptakan.

Paralel dengan konsep Sinema Atraksi, di mana penonton pada awalnya datang ke pameran untuk melihat demonstrasi mesin-mesin sinema, adegan ini menciptakan daya tarik utama pada mekanisme pembuatan film itu sendiri. Welles secara secara langsung menampilkan mesin-mesin pembuatan film, mengekspos ilusi sinematik dan menciptakan ikatan langsung antara penonton dan pengalaman sinematik yang sedang dipresentasikan.

Alhasil, adegan pembuka film F for Fake bersifat sebagai pengantar atraksi yaitu film ini sendiri. Welles, secara langsung menghadap ke kamera dan mengatakan bahwa pengalaman menonton akan membongkar ekspektasi, ilusi, dan konvensi naratif. Melalui elemen-elemen seperti direct-address, menampilkan adanya kamera dan kru film, Welles mengubah sikap voyeuristik menjadi pengakuan bahwa penonton menyaksikan karya seni yang disusun dengan sengaja. Film ini bukan sekadar atraksi sulap, melainkan karya seni yang mendekonstruksi ilusi, mendorong penonton untuk mempertanyakan batas realitas dan konstruksi film.

Non-illusionistic, Non-deceptive, dan Non-voyeuristic?

Cara Welles menggambarkan ketiga sifat yang diuraikan Gunning dalam F for Fake menciptakan paradoks menarik dalam pengalaman sinematik. Film ini, di satu sisi, memang menghadirkan ilusi, karena melibatkan proses produksi yang menciptakan ilusi tersebut, khususnya melalui proses editing. Namun, di sisi lain, ilusi-ilusi sinematik ini tidak hadir untuk menipu penonton. Mereka tidak diciptakan untuk meniru realitas alam atau menyerap penonton pada cerita fiksi, melainkan hadir untuk dibongkar dan dijelaskan proses penciptaannya.

Konsep ini terlihat jelas dalam struktur konstruksi film ini sendiri. Di antara pemaparan naratif dan gambar-gambar fiksi, F for Fake membawa penonton kepada Welles dalam apa yang tampaknya seperti ruang editing, menciptakan sebuah jukstaposisi antara naratif film dan proses produksi di balik layar. Ini membuat penonton sadar bahwa yang mereka saksikan adalah sebuah film, dengan Welles, sebagai karakter dalam film, juga turut menyaksikan adegan-adegan yang diputar. Jukstaposisi gambar ini, sekaligus ilusi yang dirangkai oleh Welles, membentuk sebuah konstruksi sinematik yang secara paradoks menggabungkan ilusi dan realitas produksi film.

Pemotongan gambar dari naratif film ke adegan Welles di ruang editing adalah contoh konkret bagaimana ilusi sinematik direpresentasikan. Meskipun tentunya jukstaposisi ini dirangkai melalui proses editing, sifat non-deceptive muncul saat Welles secara eksplisit membongkar ilusi tersebut, menjelaskan konstruksi dan proses pembuatannya. Paradoks ini semakin meningkat ketika Welles sebagai karakter dalam film berbicara tentang penipuan, sementara pada saat yang sama mencoba membongkarnya, menambah dimensi eksibisionistik dan non-deceptive.

Motif jukstaposisi ini kemudian diretas oleh Welles sendiri, yang muncul dalam gambar-gambar yang awalnya tampak sebagai ilusi semata. Melalui direct address dan kesadaran penuh akan kehadiran penonton, Welles memperkuat sifat non-voyeuristik film ini. Penonton tidak hanya mengamati, tetapi secara aktif diikutsertakan dalam naratif, menciptakan pengalaman sinematik yang melibatkan penonton sebagai partisipan yang sadar. Dengan demikian, meskipun F for Fake menyajikan ilusi sinematik, film ini bersifat non-illusionistic karena secara terbuka membongkar ilusi itu sendiri dan non-deceptive karena tidak bertujuan untuk menipu penonton, melainkan menjelaskan konstruksi dari penciptaan ilusi sinematik.

Orson Welles sebagai Lecturer

Dalam konteks lecturer dalam Sinema Atraksi, Orson Welles dalam F for Fake tidak hanya menjadi narator pasif, melainkan menciptakan dinamika yang mendalam yang mencerminkan karakteristik Sinema Atraksi dalam era sinema awal.

Pertama, Welles terlibat secara aktif dalam memberikan komentar langsung kepada penonton. Dalam film, Welles tidak hanya menyampaikan informasi dasar tetapi juga merinci dan mendeskripsikan secara mendalam setiap elemen visual yang muncul di layar. Melalui direct address yang muncul sepanjang film, ia menjelaskan konteks, menyajikan analisis, dan memberikan lapisan tambahan yang memperkaya pemahaman penonton terhadap setiap adegan.

Salah satu contoh konkret yang mencerminkan peran lecturer Welles dalam F for Fake adalah saat pembongkaran ilusi melalui eksplorasi kasus Elmyr de Hory, seorang pelukis pemalsu yang berhasil memperdaya museum dan kolektor seni ternama. Welles tidak hanya menyajikan informasi tentang kasus ini, tetapi ia juga mengeksplorasi konsep keaslian dan pemalsuan dalam seni.

Dalam kasus de Hory, Welles membimbing penonton melalui naratif yang kompleks, mengungkap bagaimana seniman ini berhasil menciptakan lukisan palsu yang meyakinkan dan melibatkan dirinya dalam lingkaran elit seni. Dengan kehadiran Welles sebagai narator yang interaktif, penonton diberi pemahaman mendalam tentang proses pemalsuan seni dan dampaknya pada dunia seni.

Melalui ini, Welles menciptakan interaksi yang erat antara dirinya sebagai lecturer dan penonton. Selain memberikan informasi, ia seringkali mengajak penonton untuk berpikir, merespon, atau bahkan secara tidak langsung berpartisipasi dalam dialog. Interaksi ini tidak hanya memecah batas antara penonton dan film, tetapi juga menciptakan pengalaman menonton yang lebih dinamis dan interaktif.

Perspektif yang menarik dalam F for Fake adalah bagaimana Orson Welles memegang dua peran sekaligus, sebagai sutradara dan lecturer, menciptakan pengalaman menonton yang sangat berlapis. Dalam lapisan pertama, Welles, sebagai sutradara terkemuka, membawa otoritas dan reputasinya ke dalam film, memberikan kesan kepada penonton bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah karya sutradara yang sangat mereka kenal. Di lapisan kedua, Welles muncul sebagai karakter diegetic, dalam hal ini pesulap, yang secara aktif memandu penonton sepanjang film, untuk mengekspos kepalsuan dalam seni, dan film yang mereka sedang tonton.

Dinamika ini membawa penonton ke dalam suasana di mana mereka bukan hanya menyaksikan hasil akhir sebuah film, tetapi juga melihat proses kreatif di balik layar film yang mereka tonton. Welles tidak hanya berada di balik kamera; ia berbicara secara langsung kepada kamera melalui direct-address, mengatakan bahwa yang penonton lihat adalah ilusi yang ia buat.

Dengan memiliki kendali penuh terhadap presentasi film, Welles tidak hanya memandu arah cerita, tetapi juga mengajak penonton untuk terlibat secara aktif dalam pemahaman dan interpretasi film. Hal ini menciptakan sebuah dinamika di mana Welles tidak hanya sebagai sutradara, tetapi juga sebagai seorang pembimbing yang merangkul peran sebagai lecturer dalam menciptakan pengalaman menonton yang dinamis, responsif, dan sangat dikendalikan. Sehingga, Welles menjadikan dirinya nya representasi kuat dari lecturer dalam Sinema Atraksi.

Dalam F for Fake, naratif film mencerminkan karakteristik Sinema Atraksi dari era sinema awal melalui pendekatan yang memadukan ilusi, dekonstruksi, dan interaktivitas dengan penonton. Orson Welles, sekaligus sutradara dan karakter utama, menghadirkan pengalaman sinematik yang memecahkan batas konvensional antara penonton dan film. Adegan pembuka dengan aksi sulap Welles tidak hanya mengundang perhatian, tetapi juga menggambarkan konsep Sinema Atraksi, di mana pengalaman langsung dan sifat interaktif-nya menjadi kunci. Film F for Fake bersifat eksibisionistik dengan menghadirkan tidak hanya menghadirkan atraksi sinematik, namun juga secara langsung membongkar ilusi yang erat padanya.

Peran Welles sebagai lecturer dalam F for Fake memiliki dampak signifikan pada interaksi penonton dengan naratif film. Welles tidak hanya memberikan informasi dasar, tetapi juga memandu penonton melalui analisis mendalam dan refleksi atas keaslian dan pemalsuan dalam seni. Dengan langsung berbicara kepada kamera (direct-address), Welles menciptakan hubungan erat antara dirinya dan penonton, mengajak mereka untuk berpikir, merespon, dan bahkan berpartisipasi dalam dialog. Dinamika ganda Welles sebagai sutradara dan lecturer menciptakan sifat non-illusionistic, non-deceptive, dan non-voyeuristic yang kompleks, di mana penonton tidak hanya menyaksikan film, tetapi juga dipandu dalam pemahaman proses ilusi film itu sendiri.

Sebagai representasi kuat dari seorang lecturer dalam Sinema Atraksi, Welles mengarahkan penonton untuk tidak hanya menjadi pengamat pasif, tetapi juga sebagai bagian aktif dari pengalaman menonton. Dalam hal ini, F for Fake bukan hanya sekadar film gabungan fiksi dan dokumenter, melainkan karya seni yang mengajak penonton merenung tentang hakikat seni, keaslian, dan daya tipu dalam dunia sinematik. Dengan menggabungkan unsur ilusi, dekonstruksi, dan interaktivitas yang lekat dengan Sinema Atraksi dalam era sinema awal, film ini menciptakan pengalaman sinematik yang dinamis dan mempertanyakan konsep realitas dalam karya seni.

DAFTAR PUSTAKA

Gunning, Tom. “The Cinema of Attraction[s]: Early Film, Its Spectator and the Avant-Garde.” The Cinema of Attractions Reloaded, edited by Wanda Strauven, Amsterdam University Press, 2006, pp. 381–88. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/j.ctt46n09s.27. Accessed 26 Dec. 2023.

Strauven, W. (2011). The Cinema of Attractions reloaded.Welles, Orson, sutradara. F for Fake. Planfilm, 1973. Film.

--

--

Bintang Panglima
Bintang Panglima

Written by Bintang Panglima

An aspiring filmmaker and film writer based in Indonesia. Start a conversation with me through my e-mail: bintangpanglima@gmail.com

No responses yet