First Reformed: Memberi Sunyi nan Sengaja

Bintang Panglima
3 min readSep 21, 2022

--

Dalam konteks New Hollywood di era 1970-an, nama Paul Schrader sudah tidak asing lagi. Lebih khususnya, kemitraan yang dimilikinya bersama Martin Scorsese melalui film Taxi Driver (1976) dan Raging Bull (1980), memasukkan nama Schrader sebagai seorang tokoh penting di dalam pembentukkan sinema Hollywood yang baru. Namun, karirnya jauh lebih besar dan kompleks dari film-film populer yang ditulisnya. Sebelum menjadi penulis film, Schrader adalah melaksanakan studi teologi di Calvin College, sebuah universitas kristen swasta yang merupakan sayap pendidikan dari Gereja Kristen Reformasi. Besar di keluarga yang sangat religius dan aktif di gereja Calvinisme, pribadi Schrader selalu lekat dengan spiritualismenya.

Hasil gaya hidup keluarganya yang sangat konservatif, religius dan ketat, Schrader menonton film pertamanya saat usia 15 tahun . Schrader menyatakan bahwa ketertarikannya kepada film berawal bukan dari pendekatan emosional, melainkan pendekatan intelektual. Ketertarikan ini kemudian dibentuk saat dirinya melanjutkan studi di UCLA (university of California, Los Angeles) sebagai mahasiswa kajian sinema. Schrader kemudian berkarir sebagai kritikus film, penulis film, dan kemudian beralih ke dalam ranah penyutradaraan film.

Hingga kini, Schrader terus mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang Kristen, dan masih terus menjalankan keimanannya. Namun, dirinya melihat bahwa diantara dua entitas dalam kehidupannya, yakni spiritualisme dan film, merupakan hal yang sangat terpisah. Schrader melihat film sebagai sebuah medium yang bombastis, dipenuhi aksi, empati, kekerasan, dan seksualitas. Sedangkan keimanan baginya adalah suatu hal yang sangat amat personal. Namun, peleburan kedua sisi Schrader dimulai saat dirinya usai menonton film Ida (2013) karya sutradara Paweł Pawlikowski.

Setelah berbicara dengan Pawlikowski, Schrader merasa bahwa sudah kalanya dia menciptakan film yang menggabungkan kedua sisinya; sisi filmis dan sisi spiritual. Kini First Reformed (2017) menceritakan tentang Toller (Ethan Hawke) seorang pastor katolik yang mengalami krisis keimanan setelah bertemu seorang aktivis lingkungan dan istrinya (Amanda Seyfried). Saat pertama menonton First Reformed, impresi pertama yang pasti muncul dalam benak penonton adalah betapa sunyinya film ini. Dalam beberapa momen, dunia seakan-akan berhenti berbicara, sehingga membuat Toller merasa sendiri bersama dilema besarnya.

Dalam mendeskripsikan film First Reformed, khususnya dalam konteks stilistik, kata “meditatif” merupakan kata yang sempurna. Film ini terasa lambat dan sangat tenang, meskipun protagonis menghadapi permasalahan internal yang mengerikan. Ketenangan merupakan ciri khas dalam iman, untuk menyentuh sisi spiritualitas, kita butuh ketenangan dan kesunyian, inilah yang Schrader coba aplikasikan dalam First Reformed.

Proses Schrader dalam menciptakan nuansa film yang meditatif dan tenang adalah melalui sesuatu yang ia sebut sebagai “withholding” atau “penahanan-penahanan teknis”. Melalui wawancaranya bersama Peter Sobczynski, Schrader menyatakan bahwa ketika dirinya memutuskan untuk menciptakan karya yang tenang, dan kontemplatif, dirinya perlu melakukan penahanan-penahanan teknis. Penahanan disini yang ia maksud adalah penahanan hal-hal yang tradisional, hal-hal yang umum ditemukan dalam spektakularitas sinema. Dalam film ini, Schrader melakukan berbagai macam penahanan teknis, baik itu dari segi pacing editing, musik, atau penahanan menaruh objek dalam foreground.

Tidak dapat disangkal bahwa First Reformed adalah film “spiritual”. Sebuah film yang membahas keimanan dengan serius, serta menghasilkan pengalaman menonton yang sangat spiritual. Hal ini sangatlah jauh dari film-film “agama” atau “religi yang sering kita temukan (khususnya di Indonesia).

Schrader melihat bahwa untuk mencapai karya yang “suci” dan kontemplatif, dirinya perlu melakukan praktik penahanan ini. Hal ini dikarenakan dirinya merasa bahwa mengambil atau menahan sesuatu dari ekspektasi penonton merupakan hal yang sama dengan meditasi. Schrader menyatakan bahwa “good things come to those who wait” atau “hal-hal baik datang kepada mereka yang menunggu” dan dengan dirinya meminta penonton menunggu adalah hal yang spiritual.

Keunikan lain adalah bagaimana Schrader melihat kebosanan. Schrader menyadari bahwa ketenangan, meditasi dan kesunyian pasti membawa bosan. Kesadaran inilah yang membuat Schrader, melalui film ini, mencoba mengontrol kebosanan itu. Melalui segi-segi stilistik, Schrader membentuk reaksi emosional melalui kebosanan itu, menggunakan kesunyian dan ketenangan sebagai suatu hal yang menunjang impresi keimanan/kesucian yang ingin dirinya utarakan. Menggunakan kata-katanya, Schrade “menjadikan kebosanan seperti pisau bedah.” Karena baginya, “meditasi yang cepat” tidak ada di dunia ini, oleh karena itu untuk menciptakan hubungan dengan dunia spiritual, dirinya perlu memperlambat segalanya.

Schrader adalah seorang pemikir, sehingga tentunya film-film yang diciptakannya sangatlah kontemplatif. Melalui proses encoding-nya, First Reformed menghubungkan latar belakang spiritual sutradara untuk membuat film yang membahas spiritualisme. Menyoroti kesunyian, Schrader membicarakan topik berat yaitu iman. Luar biasanya, pembahasan spiritualisme ini ternyata tidak hanya melalui konten naratif, melainkan juga melalui aspek-aspek teknis dan stilistik seperti editing, musik, dan sinematografi.

--

--

Bintang Panglima
Bintang Panglima

Written by Bintang Panglima

An aspiring filmmaker and film writer based in Indonesia. Start a conversation with me through my e-mail: bintangpanglima@gmail.com

No responses yet