EUFORIA DAN KARTASIS

Bintang Panglima
11 min readSep 1, 2021

--

Kondisi Perfilman Indonesia Pasca Runtuhnya Order Baru

Puisi Tak Terkuburkan (2000, dir. Garin Nugroho)

Tidak lama setelah runtuhnya Orde Baru dan turunnya kekuasaan Soeharto, sebuah hasrat katarsis untuk melahir-barukan setiap ranah kesenian mulai muncul. Semangat besar yang merupakan hasil langsung dari kejadian Mei 1998 itu berdampak besar pada kondisi perfilman yang kita pahami sekarang.

Kata “Reformasi” tidak hanya digunakan untuk merujuk pada perubahan besar sosio-politik negara, namun kata itu juga digunakan oleh berbagai kelompok dan komunitas yang terinspirasi untuk menggunakan kata itu dalam perjuangan-perjuangan mereka menuju perbaikan/reformasi. Tidaklah keliru bila industri perfilman Indonesia ikut terinspirasi dengan ide dan berbagai perubahan yang terjadi pada masa itu.

Pada kenyataanya, periode penggulingan Soeharto yang dilakukan oleh banyak kawula muda pada tahun 1998 tidak hanya membawa sebuah reformasi politik, tetapi juga sebuah reformasi budaya. Reformasi budaya ini kuat ditandai dengan esensi kebebasan berpendapat yang jauh lebih besar. Para sineas muda maupun tua mulai bergagasan untuk dengan kritis menghadapi kenyataan pahit kehidupan dalam negara, dan mulai bereksperimen dengan pendekatan dan tema yang lebih kontemporer.

Pasca pengunduran diri Soeharto, kultur sinema side-stream yang diidentikan dengan idealisme dan kebebasan memiliki ruang dan kesempatan untuk memperoleh visibilitas. Pada masa ini, genre film alternatif, pameran, dan saluran distribusi underground juga lebih kerap muncul. Masa ini memicu perbincangan mengenai pentingnya representasi dan imajinasi yang mencerminkan penuh semangat masyarakat Indonesia yang asli.

Dalam makalah ini, saya akan membahas kondisi serta lika-liku perjalanan perfilman Indonesia pasca Orde-Baru atau pada periode reformasi yang dipicu oleh tergulingnya pemerintahan Soeharto.

INDEPENDENSI SINEMA

Era reformasi menggarisbawahi ide kebebasan dan perubahan menuju hal yang lebih baik dan humanis. Industri kreatif perfilman Indonesia juga dengan nyata tertanamkan ide ini dalam identitas barunya. Karena pada esensinya reformasi merupakan hasil dari perjuangan dan kekuatan anak muda di berbagai sektor kehidupan, filmografi Indonesia pasca masa orde-baru jugalah distingtif dengan munculnya produksi-produksi film karya pembuat-pembuat film muda.

Sekitar tahun 1999, di tengah suasana euforik dan katarsis reformasi, pembuatan film naik secara pesat. Ketersediaan alat dan teknologi audio-visual yang muncul bersamaan era ini mendorong sineas-sineas muda untuk berkarya dengan cara yang lebih praktis dan aksesibel. Mudah diaksesnya peralatan pembuatan dan eksibisi film seperti proyektor dan kamera video digital merupakan bagian dari identitas jiwa perfilman pada masa itu.

Semangat ini meresap ke ekosistem perfilman Indonesia, menghasut mulainya gerakan-gerakan sinema baru. Gerakan baru ini memunculkan serangkaian kegiatan-kegiatan baru dalam praktik dunia perfilman di Indonesia. Salah satu topik yang sangat identik dengan periode ini adalah topik/label yang membicarakan kebebasan dan kemerdekaan. Semangat besar ini kemudian melahirkan genre film independen di sinema Indonesia.

Perlu dipahami bahwa “film independen” yang kita pahami di Indonesia berbeda makna dengan pengertian “independent film” di Amerika Serikat atau Eropa. Konsep “independent film” dalam dunia perfilman barat lebih merujuk pada gerakan-gerakan yang menolak pembuatan film mainstream atau sistem studio Hollywood yang berisik dengan kerumitan hirarkinya. Di Indonesia istilah “film independen” lebih kerap dijadikan model atau panutan anak muda yang ambisius dalam membuat film fitur secara sendiri. Di Indonesia, ruang lingkup film independen melampaui produksi film independen, namun juga mendorong pembentukan komunitas film baru.

MAHLUK FILM INDEPENDEN

Pergerakan film independen pasca orde baru di Indonesia pada esensinya dimulai dengan film Kuldesak (1998). Film ini merupakan film antologi yang mengeksplor katarsis namun juga kecemasan dan kekhawatiran yang dirasakan anak muda pada masa itu. Melalui empat sosok, film ini membahas masalah kaum muda kelas menengah Jakarta yang diisi dengan narkoba, homoseksualitas, dan perasaan kesepian yang kadang dapat terasa buntu (makanya disebut Kuldesak.)

Dengan penuh semangat, empat sineas di belakang film ini, Riri Riza, Mira Lesmana, Rizal Mantovani, dan Nan Achnas pada tahun 1996 memutuskan untuk memproduksi film ini sebagai film underground yang didorong dengan kebebasan penuh yang dirasakan pasca Orde Baru, melanggar segala macam aturan produksi film di bawah Orde Baru yang identik dengan sensor.

Namun, terlepas dari iklim politik yang lebih bebas, salah satu adegan paling radikal dari film ini, dua laki-laki berciuman tetap disensor. Mungkin perbuatan itu dianggap terlalu revolusioner bahkan untuk reformasi bagi publik.

Film Kuldesak dengan ambisius memadukan elemen avant-garde dengan budaya populer. Film ini kemudian sukses secara komersial dan mengembangkan status kultus (cult status) berikut hingga sekarang.

Meresapnya semangat reformasi ke dalam kancah perfilman Indonesia melahirkan sebuah gerakan yang bercirikan semangat independensi dan idealisme yang besar. Gerakan film independen mendorong sineas-sineas baru pada masa itu dalam membentuk komunitas yang disebut MAFIN yang merupakan singkatan dari Mahluk Film Independen. Mafin mengadakan penayangan film, diskusi, dan pengadaan festival film sendiri. Komunitas tersebut bertukar pikiran tentang opini mereka mengenai kondisi perfilman atau sebuah film melalui sebuah teknologi yang pada masanya relatif baru yaitu internet dan juga melalui acara berkumpul.

PEREMPUAN DI BALIK DAN DEPAN KAMERA

Selain itu, era reformasi juga kerap identik dengan munculnya isu dan sineas perempuan dalam ekosistem film nasional. Film-film fitur karya perempuan dapat tembus angka box-office dan digemari oleh para kritikus. Hal ini cukup langka dalam era Orde Baru, yang didominasi oleh film-film yang karya sineas pria dengan pandangan yang cukup maskulin.

Film Pasir Berbisik (2001) disutradarai oleh Nan Achnas, salah satu sineas dibalik film antologi Kuldesak yang saya jelaskan di atas. Film tersebut dibintangi (dan diproduseri) oleh Christine Hakim bersama Dian Sastrowardoyo yang pada masa itu sangat identik dengan perfilman independen. Film ini menceritakan hubungan sebuah Ibu dan anak remajanya yang mencoba mengungsi dengan melintasi bukitan pasir yang luas.

Film ini kemudian ditayangkan dalam berbagai festival film di seluruh dunia, menjadikan salah satu film yang paling kerap dibicarakan dalam skena perfilman independen Indonesia dan Asia. Christine Hakim, dalam perannya sebagai Berlian, memenangkan dua penghargaan Best Actress di dua festival film internasional; Deauville Asian Film Festival dan Singapore International Film Festival. Nan Achnas menjadi perempuan indonesia pertama yang memenangkan Best New Director di Asian Pacific Film Festival. Film dengan judul internasional Whispering Sands ini juga mendapatkan penghargaan di Seattle International FIlm Festival dan Brisbane International Film Festival.

Dian Sastrowardoyo juga membintangi film Ada Apa Dengan Cinta (2002) sebagai peran ikoniknya Cinta, bersama Nicholas Saputra sebagai Rangga. Meskipun disutradarai oleh Rudi Soedjarwo, film yang diproduseri oleh Mira Lesmana ini juga dapat dijadikan contoh berkembangnya persepsi penonton dan pembuat film indonesia terhadap sosok perempuan. Tokoh perempuan tidak dijadikan sebagai “permen-mata” atau objek yang digunakan hanya sebagai pendukung karakter Pria. Tokoh Cinta yang diperankan oleh Sastrowardoyo dapat dengan kompleks mencerminkan kecemasan dan lika-liku kehidupan remaja perempuan di Jakarta pada masa itu.

Film ini juga melahirkan Soundtrack yang legendaris yang tertanam sebagai salah satu artefak kesenian lain yang berdampingan dengan film. Lagu “Ada Apa Dengan Cinta?” karya Melly Goeslaw memenangkan penghargaan AMI Award untuk lagu terbaik. Bagaimana seluruh lirik dalam soundtrack ini ditulis oleh Melly Goeslaw juga menggambarkan bagaimana seniman perempuan mulai mendapatkan ruang untuk berkarya dengan idealis dan jujur.

Film Ada Apa Dengan Cinta memenangkan empat penghargaan dalam Festival Film Indonesia tahun 2004, untuk Pemeran Utama Perempuan Terbaik, Sutradara Terbaik, Tata Musik Terbaik, dan Penulisan Skenario Terbaik.

Generasi sineas khususnya sutradara perempuan membuka topik-topik menarik yang sebelumnya jarang dibicarakan dalam perfilman mainstream Indonesia. Sutradara Nia Dinata merupakan tokoh sempurna dalam memaparkan pernyataan ini. Berawal sebagai sutradara video-clip di awal 1990-an, Dinata melakukan peralihan ke film di awal tahun 2000-an.

Tiga film pertama Dinata mengeksplor tema yang dapat disimpulkan sebagai kontroversial. Ca Bau Kan (2001) mengeksplor kondisi komunitas etnis Cina di Indonesia pada masa kedudukan jepang hingga masa kemerdekaan. Cau Bau Kan dianggap berani karena statusnya sebagai film Indonesia pertama yang kental dengan tema budaya dan bahasa Tionghoa. Film ini juga adalah film Indonesia pertama yang menggambarkan peran orang Peranakan dan etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia. Film keduanya, Arisan (2003) yang dibintangi Tora Sudiro dan Cut Mini menjelajahi isu homoseksualitas di Indonesia, dan Berbagi Suami (2006) mentackle sebuah topik yang sangat panas pada masanya; poligami.

Dinata sebagai sutradara tidak asing dalam menghadapi sensor berat dan kontroversi karena subjek yang dia garap. Namun, di sisi lain, dirinya juga memenangkan pujian dari berbagai sumber, baik secara nasional maupun secara internasional, dirinya sering disebut sebagai sineas muda paling berbakat di Indonesia. Dirinya adalah personifikasi dari mulai terbukanya pintu bagi para perempuan berbakat di Indonesia untuk berkarya dengan penuh kebebasan dan idealisme.

PROBLEMATIKA EKSHIBISI

Ketika produksi dan pemutaran film independen mencapai puncaknya pada tahun 2001, diskusi tentang distribusi dan ekshibisi film mulai membahas masalah problematika akses film nasional kepada lembaga ekshibisi konvensional seperti Cinema 21. Diskusi ini terdorong oleh kasus film Beth (2001), sebuah film nasional yang dijadwalkan untuk diputar di salah satu bioskop Cinema 21 pada akhir November 2001 namun wacana film tersebut untuk tayang di Cinema 21 pada bulan itu berakhir gagal. Di belakang layar terjadi permasalahan dalam negosiasi antara sutradara film tersebut dan Cinema 21. Film Beth kemudian dinyatakan batal tayang dan ditarik dari saluran utama ekshibisi film.

Film Beth kemudian didistribusikan dan diputar melalui jaringan-jaringan alternatif yang didirikan oleh beberapa komunitas independen film di berbagai kota. Kegagalan tayang Beth mendorong diskusi tentang struktur kekuasaan ekshibisi film yang ada di Indonesia dalam kaitannya dengan identitas film bangsa. Pada masa itu, Cinema 21 diduga hanya memberi akses hanya kepada pembuat film mewakili identitas transnasional kelas menengah ke atas, yang berarti orang kaya atau orang yang mampu sekolah di universitas Film di Indonesia atau di luar negeri.

Namun hal ini tidak mematahkan semangat berkarya sineas muda pada masa itu, perasaan euforia reformasi terus dipakai sebagai alasan untuk menciptakan film-film dengan tema yang baru dan segar, dan pada ujungnya mendorong Cinema 21 untuk membuka pintu mereka sedikit lebih lebar.

Meningkatnya jumlah film yang diproduksi di dalam negeri, baik dalam format seluloid 35mm maupun dalam format video digital, memicu media nasional untuk melabel periode ini sebagai “kelahiran generasi baru pembuat film Indonesia” dan “kebangkitan perfilman Indonesia”. Namun, hal ini sedikit ironis bila memandang fakta bahwa kebanyakan film yang dimaksdu merupakan film “art” yang tidak populer di kalangan luas. Tetapi fakta bahwa film-film yang beresiko tersebut tetap berhasil diproduksi dan sampai di bioskop-bioskop Indonesia secara cukup masif t menawarkan sumber harapan bagi masa depan film Indonesia.

JIFFEST

Di luar Festival Film Indonesia (FFI) yang telah diadakan sejak tahun 1955, Festival film dimana publik dapat merayakan medium film secara masif hampir tidak ada. Bahkan Festival Film Indonesia sudah tidak lagi bersifat sebagai sebuah festival, melainkan hanya sebagai sebuah ajang penghargaan yang tidak melibatkan masyarakat luas/penggemar film pada umumnya. Festival Film yang kerap merayakan film-film kontemporer yang penuh dengan keragaman topik dan tema adalah JIFFest (Jakarta International Film Festival).

Pada tahun pertamanya di 1999, dalam waktu 28 hari, JIFFest menayangkan 65 judul film dari berbagai macam negara di dunia. Shanty Harmayn Seorang sutradara dokumenter dan produser film Indonesia dan Natacha Devillers seorang festival organizer asal Amerika Serikat, selaku pendiri festival tersebut menyebut masa itu sebagai “kunci kebangkitan industri film nasional.” JIFFest menyajikan film-film “art” dan asing yang pada masa itu sulit ditemukan di Indonesia.

Selama bertahun-tahun JIFFest tumbuh menjadi pesta film besar yang menyajikan berbagai jenis film dan dokumenter konvensional maupun eksperimental, baik dari Indonesia maupun luar negeri. Bersamaan dengan perubahannya setiap tahun tema, workshop dan diskusi yang berbeda juga diselenggarakan selama festival.

Namun sayangnya, kini keberadaan JIFFest di skena perfilman Indonesia hampir punah, dikarenakan permasalahan finansial yang rumit, JIFFest kehilangan sumber pendanaan awalnya, dan terakhir diselenggarakan secara resmi pada tahun 2013.

BERANI MENGKRITIK

Momen kunci dalam perkembangan perfilman Indonesia dan bagaimana perubahan tersebut dipicu oleh reformasi politik adalah kerap bermunculannya film-film dokumenter politik yang bersifat lebih jujur dan merakyat. Kini, dokumenter yang berhubungan dengan politik di Indonesia bukan lagi mengenai kejayaan dan propaganda kebaikan pemerintah dalam memerintah rakyatnya, melainkan fokus terhadap rasa sakit dan penderitaan rakyat baik yang ditindas oleh aparat pemerintahan atau merupakan hasil dari kelalaian pemerintah dalam melindungi mereka. Salah satu tokoh dokumenter politik yang kerap meliput topik-topik humanisme dan penderitaan adalah Aryo Danusiri. Dokumenter pertamanya memiliki judul Village Goat Takes The Beating (1999). film tersebut menelusuri pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, hasil reportase terjadinya penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap Gerakan Aceh Merdeka.

Meskipun jarang didengar di dalam negeri, Danusiri dan karya-karyanya kerap mendapatkan atensi lebih di luar Indonesia. Film Village Goat Takes The Beating (1999) diseleksi masuk Amnesty Film Festival pada tahun 2001 di Amsterdam. Dan bersama film Village Goat Takes The Beating, dua film dokumenter tentang Aceh lainnya yang digarap Danusiri dijadikan sebuah DVD dan dipublikasikan dengan bantuan Monash University. Danusiri tidak hanya membuat film tentang Aceh, namun juga berbagai tempat di indonesia yang sayangnya kaya dengan ketidakadilan dan kemiskinan. Film Lukas’ Moment (2007) mendokumentasikan perjalanan keseharian seorang anak laki-laki dari Papua Barat. Film ini dikenal sebagai film dokumenter dengan sub-genre observasional pertama di indonesia.

Garin Nugroho, yang telah menciptakan karya yang berbau reformasi dan idealisme bahkan sebelum tahun 1998 juga aktif berkarya dalam menciptakan film yang kritis terhadap kondisi pemerintahan di masa sebelum reformasi. Dalam film semi dokumenter semi fiktif yang berjudul Puisi Tak Terkuburkan (2000), Nugroho mengomentari pembunuhan massal terhadap orang yang diduga komunis di tahun 1965. Nugroho menulis film ini dengan tujuan untuk “menafsirkan kembali luka dalam sejarah”

Film Puisi Tak Terkuburkan sepenuhnya terjadi dalam dua sel penjara dan satu ruang penjaga. Nugroho menggunakan shot close-up untuk memperkuat perasaan claustrophobia. Film ini diambil seluruhnya dalam warna hitam dan putih untuk lebih menekankan dialog ketimbang visual.

Selain Puisi Tak Terkuburkan, Nugroho menggarap dua film lain yang kaya dalam esensi politik. Aikon Sebuah Peta Budaya (2002) merupakan sebuah film dokumenter mengenai kongres Papua Barat tahun 2000 yang mengekspresikan kembali budaya masyarakat Papua Barat, dan aspirasi mereka untuk hidup merdeka dari Indonesia. Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002) juga mengeksplorasi topik politis. Kini dalam kemasan film naratif, Nugroho menceritakan tentang seorang bocah Papua yang terobsesi dengan kulit terang seorang perempuan.

Pada dasarnya, pada era yang kaya dengan kebebasan berekspresi dan berkarya pasca reformasi, para sineas baik muda maupun senior, lebih memiliki keberanian dan ruang dalam menciptakan karya yang mengkritik dan mengeksposisi ketidakadilan dan tindakan represif yang dilakukan pemerintah dan negara.

FILM ISLAMI

Di era 1980-an, orang-orang yang menonton film yang menyangkut topik islami kerap bertemuan dengan film mistis dan legenda yang berlatar belakang terbawanya agama Islam ke pulau Jawa di abad ke-14. Namun di era reformasi, muncul film Ayat Ayat Cinta (2008), sebuah film yang menggambarkan topik agama Islam sebagai suatu hal yang modern dan kontemporer. Film Ayat Ayat Cinta menceritakan seorang laki-laki muslim dan hubungannya dengan berbagai perempuan. Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini secara naratif berbentuk lebih seperti film melodrama tahun 1940-an di Amerika Serikat daripada film yang membahas kompleksitas keagamaan dalam menghadapi era modern.

Ketika Cinta Bertasbih (2009) juga menggunakan pendekatan yang serupa dengan Ayat Ayat Cinta, dimana Islam lebih bersifat sebagai pondasi moralitas keseluruhan cerita ketimbang fokus utama naratif.

KESIMPULAN

Era pasca reformasi merupakan katarsis besar terhadap seluruh ranah kehidupan masyarakat indonesia. Konsep “Reformasi” atau pembaruan tidak hanya secara eksklusif berdampak pada status sosio-politik, namun juga berdampak besar pada kebudayaan. Setelah tergulingnya pemerintahan Soeharto, kultur sinema berkembang secara pesat, baik dari segi konsumsi maupun produksi.

Di tengah suasana euforik periode awal reformasi, sineas muda Indonesia melahirkan konsep “film independen” yang merujuk pada model panutan anak muda indonesia yang berambisi untuk membuat film fitur secara sendiri, tanpa dana masif ataupun bantuan studio besar. Gerakan film independen juga melahirkan berbagai pembentukan komunitas film di kalangan masyarakat.

Indonesia melahirkan film-film yang berani dalam mengekspresikan idealismenya. Film seperti Kuldesak mencerminkan ide awal reformasi yang mengedepankan kebebasan dan kemerdekaan berpendapat. Era ini juga identik dengan terbukanya pintu bagi sineas perempuan Indonesia dalam berkarya. Sutradara seperti Nia Dinata dan Nan Achnas merupakan contoh baik dari semangat baru kaum perempuan untuk berkarya secara independen dan modern.

Pada dasarnya, berakhirnya era orde baru Soeharto merupakan anugerah besar dalam industri perfilman Indonesia, para pembuat film kini dapat menulis dan menggarap isu yang sebelumnya dianggap problematis dan perlu disensor. Saya sebagai seorang manusia yang memiliki aspirasi dan ambisi dalam berkarya dengan film sangat mengakui peranan besar reformasi terhadap kebebasan berfilm.

Namun, meskipun di sisi lain saya juga paham bahwa mimpi untuk mendapatkan kebebasan berkarya di Indonesia masih belum sepenuhnya terealisasikan, bila dibandingkan dengan era represif yang ada di masa orde baru, tidak perlu diragukan lagi bahwa kondisi perfilman di Indonesia pada zaman sekarang telah berada pada jalan yang benar.

DAFTAR PUSTAKA

BBC News Indonesia. “Jatuhnya Suharto dan Perubahan Industri Film Indonesia.” BBC News Indonesia, 21 Oct. 2016, www.bbc.com/indonesia/karangan_khas/vert_cul/2016/10/161020_vert_cul_film_indonesia.

Hanan, David. Cultural Specificity in Indonesian Film: Diversity in Unity. Softcover reprint of the original 1st ed. 2017, Palgrave Macmillan, 2018.

Heeren, Katinka. Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts from the Past (Verhandelingen Van Het Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land). Brill, 2013.

Heeren, Katinka van. “Revolution of Hope.” Inside Indonesia, 2002, www.insideindonesia.org/revolution-of-hope-3.

Putri, Idola P. “Mendefinisikan Ulang Film Indie: Deskripsi Perkembangan Sinema Independen Indonesia.” Jurnal Komunikasi Indonesia, vol. 2, no. 2, 2017. Crossref, doi:10.7454/jki.v2i2.7838.

Ramadhan, Faisal. “Film Indonesia Dan 20 Tahun Reformasi.” Tempo, 11 May 2018, kolom.tempo.co/read/1087701/film-indonesia-dan-20-tahun-reformasi.

--

--

Bintang Panglima
Bintang Panglima

Written by Bintang Panglima

An aspiring filmmaker and film writer based in Indonesia. Start a conversation with me through my e-mail: bintangpanglima@gmail.com

No responses yet