Melacak Pengaruh Realisme Film Atambua 39° Celsius

Bintang Panglima
17 min readSep 27, 2022

--

Teori realisme dan neorealisme memiliki pengaruh besar dalam skema sinema global. Film-film neorealisme Italia yang terkenal seperti Rome Open City (1945), The Bicycle Thief (1948), dan Paisan (1946) telah memberikan pengaruh yang kuat pada sinema Hollywood, seperti yang terlihat dalam film The Killer of Sheep (1978) karya Charles Burnett, dan bahkan sinema India, seperti film Panther Panchali (1955) karya Satyajit Ray. Namun, di Indonesia, bahasan tentang pengaruh sinema neorealisme Italia terhadap sinema nasional masih jarang dilakukan.

Pengaruh neorealisme di Indonesia sering dikaitkan dengan film Darah dan Doa (1950) karya Usmar Ismail, terutama dalam hal penggunaan aktor non-profesional. Namun, menurut Jurnal Footage (2011), penggunaan aktor non-profesional dalam Darah dan Doa tidak bermaksud untuk menciptakan otentitas seperti dalam sinema neorealisme Italia. Sebaliknya, pemilihan aktor non-profesional dalam film tersebut disebabkan oleh kendala-kendala teknis, seperti masalah biaya dan ketersediaan aktor profesional pada masa itu.

Film Atambua 39° Celsius (2012), garapan sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana dari rumah produksi Miles Films, merupakan sebuah karya yang menarik dan efektif dalam mengangkat realita sosial di perbatasan Timor Leste dan Indonesia pasca-referendum 1999. Salah satu keunikan film ini terletak pada pendekatan realis yang digunakan, di mana bahasa Tetun (bahasa daerah Atambua) menjadi bahasa utama yang digunakan oleh para karakter, dan aktor non-profesional asal Atambua dipilih untuk memerankan peran-peran tersebut.

Dalam proses pembuatan film ini, Riri Riza benar-benar terjun ke lapangan, menciptakan dasar yang kuat untuk penggambaran yang autentik. Naskah film dikirimkan ke Atambua selama satu bulan untuk diterjemahkan ke bahasa Tetun, dan selama 14 hari syuting dilakukan dengan semangat gerilyawan, melibatkan kru yang tidak terlalu banyak. Pendekatan ini menciptakan hasil yang luar biasa, menghadirkan realita sosial yang mencengangkan bagi penonton (layartancep.id). Dalam film Atambua 39° Celsius, Riri Riza dan timnya berhasil menghadirkan gambaran yang mendalam dan menarik tentang kehidupan masyarakat di perbatasan yang jarang dieksplorasi dalam sinema Indonesia.

Film Atambua 39° Celsius merupakan kasus yang unik. Saya merasa bahwa dibandingkan dengan beberapa film Indonesia lainnya yang hanya mengadopsi beberapa elemen subtil sebagai bentuk inspirasi dari neorealisme Italia, seperti penggambaran realita sosial dalam Eliana, Eliana (2002, Riza) dan Puisi Tak Terkuburkan (2000, Nugroho), film Atambua 39° Celsius (2012, Riza) memiliki kesan yang lebih kuat dan terlihat secara jelas terinspirasi secara signifikan dari neorealisme Italia.

Melihat bagaimana film Atambua 39° Celsius berusaha menciptakan kesan realisme, saya mulai mempertanyakan konsep estetika dari realisme itu sendiri. Apakah sebuah film dapat sepenuhnya memperlihatkan realitas tanpa adanya unsur-unsur pengaturan? Meskipun film ini mengimplementasikan berbagai elemen perencanaan seperti staging, skenario, dan pemotongan adegan, yang pada dasarnya dapat menghambat kesan realitas, tetapi sulit untuk menyangkal bahwa film Atambua 39° Celsius masih mampu memberikan kesan realis yang kuat.

Seperti pembuat film neorealis di Italia, Atambua 39° Celsius berhasil menciptakan kesan estetika yang “terkesan” tidak direncanakan. Dalam film ini, kamera dibawa langsung ke lokasi alami, merekam manusia lokal yang memerankan karakter dengan sangat dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari.

Selain itu, dibandingkan dengan film-film lain karya Riri Riza, seperti Laskar Pelangi (2008) dan Gie (2005), film Atambua 39° Celsius belum pernah mendapatkan kajian yang memadai sebelumnya (atau setidaknya sulit diakses). Ini merupakan hal yang disayangkan mengingat keunikan film ini jika dibandingkan dengan karya-karya Riza lainnya atau bahkan film-film Indonesia pada tahun 2010-an. Terlebih lagi, dengan adanya keberadaan film ini di platform digital, harapannya kajian ini dapat memicu diskusi yang lebih mendalam tentang Atambua 39° Celsius, serta mendorong bahasan lebih lanjut tentang realisme dalam film-film Indonesia.

ESTETIKA ATAU ONTOLOGI?

Sebelum membahas bagaimana teori realisme diterapkan dalam sebuah film tertentu, penting untuk memahami konsep dasar dari teori realisme itu sendiri. Dalam sejarah teori film, realisme berada dalam periode yang dikenal sebagai teori film klasik, yang berbeda secara radikal dengan pandangan formalis tentang film sebagai seni. Para teoretisi realis melihat film sebagai representasi dari realitas itu sendiri, dengan penekanan pada materi atau konten film daripada bentuknya, yang berseberangan dengan pandangan formalis.

Ketika mempertimbangkan potensi artistik film terhadap kualitas materi, saya merasa bahwa para realis tidak melihat film sebagai seni. Mereka melihat film hanya sebagai penangkap realitas atau lebih sederhananya, sebuah mekanisme mesin. Tradisi realis muncul pada akhir dekade 40-an, diprakarsai oleh para teoritisi realis seperti Siegfried Kracauer, yang memandang medium film sebagai bentuk pemulihan realitas fisik. Namun, menurut pandangan saya, tokoh yang paling berpengaruh dalam memandang film realis sebagai bentuk estetis adalah Andre Bazin, seorang filsuf dan kritikus film asal Prancis.

Bazin adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam perkembangan teori realisme. Pendekatan dan pandangannya terhadap film sangat unik dan komprehensif. Tulisan-tulisannya tentang realisme penuh dengan analisis teoritis yang beragam, dengan merujuk pada berbagai bidang ilmu seperti kimia, kelistrikan, geologi, psikologi, fisika, sastra, filsafat, dan agama.

Dalam pandangan Bazin terhadap sinema dan kekuatannya, ia menganggap bahwa kualitas utama sinema terletak pada kemampuannya untuk merepresentasikan realitas sebagaimana adanya. Dalam esai yang luar biasa berjudul “Ontology of Photographic Image”, Bazin membandingkan kemampuan sinema dalam menangkap realitas dengan cara manusia memumikan jasad manusia. Analogi ini digunakan oleh Bazin untuk menggambarkan bahwa film dan mumifikasi memiliki motivasi psikologis yang sama, yaitu untuk menjaga keutuhan kondisi tubuh dari kerusakan akibat waktu yang berlalu.

Berdasarkan analogi film dengan mumifikasi yang diajukan oleh Bazin, saya melihat bahwa Bazin lebih menganggap film sebagai ekspresi manusia dalam merepresentasikan realitas dengan sejujur-jujurnya. Menurut Bazin, ini adalah “dorongan universal” yang mendorong kita untuk menciptakan karya yang menjadi representasi tubuh manusia.

Fokus Bazin terletak pada dorongan psikologis manusia untuk menciptakan, yang berada di luar dorongan artistik atau estetis. Dalam esai Ontology, Bazin memberikan pengantar tentang cara pandangnya terhadap film sebagai representasi realitas. Dia secara mendalam membahas kualitas ini secara teoritis dan ontologis, tanpa terlalu memasuki aspek spesifik mengenai bagaimana sebuah karya film dapat sepenuhnya merepresentasikan realitas.

Ini membuat saya berpikir, bagaimana sebenarnya tampilan sebuah film yang realis? Lebih spesifik lagi, apa yang membuat sebuah film memiliki kualitas estetis yang membangun kesan realis? Menentukan estetika realisme merupakan tugas yang sulit, bahkan bagi Bazin. Seiring dengan perkembangan sinema, terdapat banyak film yang berhasil menciptakan tampilan yang realistis dengan cara-cara dan pendekatan yang berbeda-beda.

Dalam pembahasan ontologisnya, Bazin pernah menggunakan film Citizen Kane (1941) karya Orson Welles sebagai contoh untuk menerapkan teori realisnya dengan pendekatan yang lebih estetis dan teknis. Saya menemukan pendekatan ini menarik karena Bazin tidak hanya memuji aspek naratif atau tema film tersebut, tetapi ia lebih fokus pada kualitas sinematografi yang menurutnya efektif dalam merepresentasikan realitas. Salah satu konsep yang dia tekankan adalah profondeur de champ, yang merupakan gabungan antara deep focus dan long-take.

Profondeur de champ, dalam kata sederhana, mengacu pada kemampuan untuk menjaga kejernihan objek dalam jarak pandang yang dalam dan pengambilan gambar yang panjang tanpa mengorbankan fokus. Penggunaan teknik ini memberikan kesan bahwa semua elemen dalam frame memiliki kesamaan pentingnya, serta memberikan kedalaman yang kuat pada gambar.

Konsep profondeur de champ memberikan kebebasan kepada penonton untuk melihat apa yang mereka inginkan, seolah-olah berada dalam realitas itu sendiri. Konsep ini menjadi salah satu aspek menarik dan sering digunakan dalam merangkum gagasan Bazin. Namun, jika kita melihat tulisan-tulisan Bazin yang lain, kita akan menemukan bahwa profondeur de champ bukanlah satu-satunya kriteria yang digunakan oleh Bazin dalam mengamati estetika realisme dalam film. Ia lebih berperan sebagai batu loncatan untuk membahas aspek estetis lain yang lebih mendalam dan intens.

Dalam konteks pendidikan film, seringkali terjadi kekeliruan dalam menilai nilai estetika film realis. Banyak yang salah menganggap bahwa penggunaan teknik seperti deep focus dan long take secara otomatis mencerminkan realisme yang sejati. Saya kemudian menemukan sebuah esai menarik karya Bazin berjudul “William Wyler, or the Jansenist of Directing,” di mana ia menganalisis karya-karya sutradara Amerika, William Wyler, dan membahas pandangannya tentang estetika realisme.

Dalam esai tersebut, Bazin menganggap estetika realisme sebagai cara untuk menggambarkan dunia dengan “mereproduksi pengalaman fisiologis/mental tertentu dari persepsi alam, atau mencari pendekatan yang mampu memberikan kesan yang sama.” Dengan kata lain, Bazin tidak memandang bahwa realisme hanya dapat dicapai melalui teknik deep focus dan long take.

Estetika realisme dikupas dengan lebih intens oleh Bazin dalam pembahasannya tentang neorealisme Italia. Bagi Bazin, neorealisme Italia adalah gerakan sinema yang paling penting pada zamannya. Bahkan dalam beberapa esainya yang membahas gerakan ini, neorealisme dipandang sebagai manifestasi estetis dari pandangan realis Bazin. Dalam esai ini seakan-akan Bazin mengokreksi dirinya sendiri. Di dalamnya, Bazin menyatakan bahwa realisme dalam sinema lebih merupakan pilihan estetis daripada sekadar produk ontologis, sebagaimana telah diajukan dalam esai Ontology.

Dalam esainya, Bazin memandang estetika realisme sebagai alat yang dapat diatur dengan cermat untuk menciptakan sebuah pandangan dunia yang bebas dan luas. Dalam analisanya tentang film The Bicycle Thief (1948), Bazin mengungkapkan bahwa tanpa “aktor, cerita, dan set, estetika ilusi realitas yang sempurna muncul ketika ‘sinema’ tidak lagi ada” (Bazin, 60). Dengan ini, Bazin menekankan bahwa estetika realisme dapat dikendalikan secara saksama untuk menciptakan kesan atau ilusi dari realitas itu sendiri. Bagi Bazin, film-film neorealisme Italia dianggap sebagai bentuk paling baik dari pengendalian estetika ini.

Dalam menyelami tulisan Bazin mengenai neorealisme Italia, sebuah gerakan sinema yang estetikanya dipandang sebagai manifestasi teori-teorinya tentang realisme dalam film, saya menyimpulkan tiga kriteria utama Bazin dalam melihat estetika realisme tersebut;

Pertama, penggunaan aktor non-profesional atau non-aktor dalam film. Menurut Bazin, penting untuk menghindari memasukkan aktor profesional ke dalam peran yang sudah sering mereka perankan. Menurutnya, penonton tidak perlu dibebani dengan prakonsepsi tertentu.

Dalam hal pemilihan pemeran, Bazin berpendapat bahwa aktor harus dipilih secara organik, dengan mempertimbangkan kesesuaian mereka dengan karakter yang dimainkan, bukan popularitas mereka sebagai aktor maupun selebriti. Bagi Bazin, kesesuaian karakter dengan aktor sangatlah penting, baik dari segi fisik maupun kesesuaian kehidupan aktor dengan karakter yang dimainkannya (Bazin, 24).

Kriteria kedua adalah pengambilan gambar di lokasi asli, atau yang disebut oleh Bazin sebagai natural setting. Bagi Bazin, penggunaan lokasi asli dibandingkan dengan lokasi buatan di studio sama pentingnya dengan penggunaan aktor non-profesional dibandingkan dengan aktor profesional. Bazin melihat penggunaan lokasi asli membuat film terhindar dari kesan kaku, seperti halnya yang terlihat dalam film yang menggunakan pencahayaan di studio.

Selain dua aspek tersebut, Bazin juga melihat bahwa film neorealisme kerap menggali kondisi kelompok terpinggirkan dan kelas pekerja bawah. Karakter dalam film-film neorealisme Italia sering kali mengeksplorasi kehidupan sederhana dan menjadi konflik utama dalam perjalanan hidup mereka.

Oleh karena itu, tiga elemen yang Bazin anggap menciptakan estetika realisme adalah: 1. Penggunaan aktor non-profesional, 2. Pengambilan gambar langsung di lokasi, dan 3. Subyek film adalah kelompok terpinggirkan.

Oleh karena itu dalam esai ini, saya akan membahas serta menguraikan tanda-tanda realisme berdasarkan elemen estetika realisme yang disimpulkan dari berbagai tulisan Andre Bazin tentang realisme ke dalam materi durasi 89 menit film Atambua 39° Celcius (2012) karya sutradara Riri Riza.

Penggunaan Non-Aktor

Neorealisme mengubah sistem studio secara total. Dari pemindahan lokasi syuting dari studio ke jalanan, hingga pergeseran fokus utama dari penulisan dan desain produksi ke pencarian momen pengambilan gambar yang jujur dan on location. Perbedaan yang paling mencolok antara film neorealisme dan film studio adalah penggunaan non-aktor atau aktor non-profesional. Dalam esai Bazin yang membahas estetika film realis, serta beberapa esai tentang gerakan neorealisme Italia, Bazin sering memuji film-film yang menggunakan non-aktor untuk peran-peran sentral.

Dalam esai “An Aesthetic of Reality,” Bazin menyatakan preferensinya terhadap non-aktor tidak berarti menolak penggunaan aktor profesional, tetapi menolak sistem bintang Hollywood. Menurut Bazin, aktor profesional bisa digunakan jika mereka memiliki fleksibilitas dalam menanggapi mise en scène dan pemahaman karakter yang baik. Dengan kata lain, Bazin tidak menolak penggunaan aktor profesional, tetapi menolak sistem bintang Hollywood yang dapat membatasi imajinasi penonton dengan prakonsepsi.

alam film Atambua 39° Celsius, semua karakter, baik protagonis maupun pendukungnya, diperankan oleh aktor non profesional. Misalnya, ada karakter bernama Ronaldo Bautista, seorang sopir bus antarkota yang terpisah dari keluarganya di Timor Timur. Perannya diperankan oleh Petrus Beyleto, seorang pria asli Timor yang kehidupannya sangat mirip dengan karakter yang diperankannya. Begitu juga dengan Gudino Soares, yang memerankan anak laki-laki Beyleto, yaitu Joao Bautista.

Menariknya, hingga saat ini, Beyleto dan Soares belum pernah tampil dalam film sebelumnya. Jadi, ketika penonton melihat mereka berakting dalam film Atambua 39° Celsius, mereka tidak memiliki prakonsepsi atau perbandingan. Ini sesuai dengan visi Bazin tentang penggunaan aktor non profesional dalam film realis. Baginya, prakonsepsi terhadap aktor yang sudah terkenal justru membebani penonton.

Namun, di sisi lain, ada Putri Moruk, seorang perempuan asal Timor, yang telah memerankan peran dalam dua film lain setelah Atambua 39° Celsius, yaitu Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara (2016) dan Empu (2020). Menurut Bazin, hal ini bisa menimbulkan prakonsepsi dalam pikiran penonton mengenai gambaran Moruk melalui dua karakter lain yang pernah diperankannya.

Secara keseluruhan, kesan menonton Atambua 39° Celsius menjadi semakin menarik karena kehadiran aktor non profesional yang begitu menyatu dengan karakter yang mereka perankan. Sementara itu, pengalaman sebelumnya yang dimiliki oleh beberapa aktor dapat memberikan dimensi tambahan dalam pemahaman penonton terhadap karakter yang mereka perankan.

Hal ini sungguh menarik, karena urutan tahun rilis dalam filmografi sang aktor kini kehilangan relevansinya. Aksesibilitas film tidak lagi terbatas pada bioskop semata, melainkan telah meluas secara luas. Oleh karena itu, penonton kini memiliki kebebasan untuk menonton filmografi seorang aktor secara acak atau non-kronologis.

Pada masa itu, ketika Bazin menulis esainya dan memberikan perspektifnya mengenai konsep ini, fenomena menonton filmografi aktor secara tak berurutan jarang terjadi seperti sekarang. Film hanya dapat ditonton ulang jika penonton memiliki akses ke arsip atau jika studio menginisiasi pemutaran ulang di bioskop. Namun, jika “Atambua 39° Celcius” adalah film pertama yang seseorang tonton dengan aktor Putri Moruk, maka ilusi realisme akan tercipta dengan sangat efektif. Pasalnya, penonton sama sekali tidak memiliki pembanding untuk membentuk prakonsepsi mengenai penampilan setiap aktor.

Dengan demikian, keberadaan penonton yang dapat menyusun ulang filmografi aktor sesuai keinginan mereka memberikan kebebasan dan keunikan tersendiri. Ini adalah perubahan menarik dalam dinamika menonton film, yang telah mengubah cara kita menghargai dan menginterpretasikan karya seni perfilman.

Perihal kedekatan atau kesejajaran realita aktor dengan realita yang direpresentasikan karakter dalam film juga menjadi aspek yang menarik. Namun, sayangnya, informasi yang kita miliki tentang kehidupan Petrus Bayleto, Gudino Soares, dan Putri Moruk di luar film Atambua 39° Celcius hanya terbatas pada fakta bahwa mereka adalah warga lokal Timor dan belum pernah terlibat dalam dunia akting sebelumnya. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa penggunaan aktor non profesional dalam film ini tidak hanya terbatas pada tiga karakter tersebut. Lebih dari puluhan aktor pendukung dan background actor juga diperankan oleh warga lokal yang menghidupkan suasana film ini.

enggunaan aktor non-profesional dari warga lokal adalah praktik yang umum dilakukan oleh sutradara Riri Riza dalam film-filmnya yang mengangkat kehidupan masyarakat pedalaman. Contohnya, dalam film Laskar Pelangi (2008), sepuluh anak pesisir Belitung dipilih untuk memerankan siswa SD Muhammadiyah. Begitu pula dalam Sokola Rimba (2013), yang mengisahkan kisah Butet Manurung, masyarakat suku Orang Rimba menjadi aktor anak-anak dalam film tersebut. Meskipun menggunakan aktor non-profesional dalam pemain ansambel, sutradara tetap menggabungkannya dengan aktor profesional.

Dalam film Laskar Pelangi, beberapa aktor ternama seperti Lukman Sardi, Cut Mini, Ario Bayu, Mathias Muchus, Alex Komang, dan Teuku Rifnu Wikana berperan penting. Begitu pula dalam Sokola Rimba, Prisia Nasution dan Rukman Rosadi, sebagai aktor profesional, memegang peran integral dalam film tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Bazin, kehadiran aktor yang telah lama berkecimpung di dunia seni peran memberikan pengaruh terhadap keseluruhan penampilan para aktor dalam film.

Namun, film Atambua 39° Celcius menarik perhatian karena tidak melibatkan aktor profesional atau terkenal dalam pemeranannya. Hal ini menjadi keunikan utama dari film ini jika dibandingkan dengan film-film lain karya Riri Riza. Keputusan ini memberikan kesan yang berbeda bagi penonton, di mana karakter-karakter dalam film seolah-olah menyatu menjadi satu dengan aktornya tanpa ada prasangka sebelumnya.

Riri Riza menyadari hal ini dan memilih aktor non-profesional untuk memerankan semua tokoh dalam film Atambua 39° Celcius sebagai representasi dari realitas dengan jujur, tanpa membebani penonton dengan prasangka sebelumnya. Selain itu, pemilihan aktor non-profesional yang merupakan bagian dari warga lokal juga merupakan upaya Riri Riza untuk menciptakan keaslian dan realisme dalam film tersebut.

Perekaman Langsung di Lokasi

Setting dalam film merujuk pada unsur-unsur dalam bingkai yang menggambarkan ruang, tempat, dan waktu. Penggunaan setting alami atau direkonstruksi dalam studio memainkan peran penting dalam estetika realisme menurut Bazin. Dalam analisisnya tentang gaya pengarah Vittorio De Sica dalam esai “De Sica: Metteur en Scene”, Bazin menyebutkan bahwa setting alami memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan penggunaan aktor non-profesional. Setting alami mampu menghindari kesan plastik yang sering muncul dalam pencahayaan dan susunan setting di studio.

Menurut Bazin, setting dan aktor perlu saling berpadu, menciptakan harmoni atau ketidakharmonisan yang membentuk karakter film. Pengambilan gambar on-location memberikan kesan autentik dan realistis pada film-film neorealistik Italia, sementara lokasi dan ruang menjadi karakter yang terhubung erat dengan betapa fotogenik pelataran kota tersebut.

Kata fotogenik yang digunakan Bazin menjadi kunci yang menarik di sini. Dalam KBBI, fotogenik merujuk pada manusia yang penampilannya menghasilkan potret yang menyenangkan. Namun, dalam definisi lain, terjadi generalisasi dimana istilah ini tidak lagi hanya terpaku pada seorang individu. Merriam Webster Dictionary mendefinisikan photogenic sebagai sesuatu yang “cocok untuk difoto terutama karena daya tarik visualnya”. Oleh karena itu, daya tarik visual tidak selalu berhubungan dengan keindahan yang bersifat relatif, melainkan pesona atau nilai yang terdapat dalam hal tersebut. Hal ini adalah mengapa Bazin menyebutkan bahwa bahkan bagian kumuh kota Italia merupakan suatu hal yang fotogenik.

Kembali kepada objek bahasan, Atambua 39° Celcius mencatat dengan detail semua adegan yang terdapat dalam film di lokasi aslinya di kota Atambua. Sebagai ibu kota Kabupaten Belu di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), kota Atambua memiliki sejarah yang menarik. Pada tahun 1999, Atambua menjadi tempat penampungan penting bagi para pengungsi dari Timor Timur (kini Timor Leste). Secara geografis, kota Atambua dikelilingi oleh perbukitan, sehingga dataran yang rata di kota ini cukup sedikit. Selain itu, Atambua juga memiliki banyak lahan hijau yang belum terjamah oleh pembangunan, serta pantai dan danau yang menawan.

Memahami kompleksitas sejarah dan geografi kota Atambua, bisa dipahami mengapa Riza memilih untuk melakukan pengambilan gambar secara langsung di lokasi tersebut. Hasilnya adalah penonton seolah-olah diangkut secara langsung ke lokasi itu, tanpa adanya elemen buatan yang dapat muncul jika pengambilan gambar dilakukan di studio. Dengan menggabungkan aktor non-profesional yang berasal dari tempat yang digambarkan dalam film, tercipta rasa kesatuan antara karakter dan latar. Kedua elemen ini saling melengkapi dan membangun penggambaran yang lebih jujur dan autentik.

Salah satu keuntungan dari melakukan pengambilan gambar di lokasi, seperti yang ditegaskan oleh Bazin, adalah fleksibilitas yang lebih besar yang diperoleh oleh sutradara dalam mengambil gambar (Bazin, 30). Hal ini terbukti jelas dalam film Atambua 39° Celcius. Riza tidak terlihat terbatas oleh pembatasan-pembatasan yang biasanya ada di dalam studio. Terdapat banyak adegan yang lebih dinamis dalam pergerakan kamera, serta pemanfaatan lokasi yang telah ada sebagai pelengkap.

Ketika Bazin menulis esai yang menjelaskan hal ini, pembuat film neorealis Italia menghadapi kendala dalam merekam gambar dan suara secara bersamaan di lokasi alami. Menurut Bazin, meskipun keterbatasan ini disebabkan oleh keterbatasan teknis pada waktu itu, hal ini secara langsung dapat menghilangkan esensi realisme itu sendiri. Namun, masalah ini tidak ditemui oleh Riri Riza dalam pembuatan film Atambua 39° Celcius. Pada masa produksi film tersebut, perekaman suara telah dilakukan secara digital, sehingga menjadi lebih praktis, bahkan saat dilakukan di kota pedalaman.

Kemajuan teknologi dalam pembuatan film memungkinkan adegan interior, yang pada masa neorealisme Italia sulit direalisasikan karena batasan pencahayaan, juga tidak lagi menjadi masalah dalam pembuatan film Atambua 39° Celcius. Kemajuan ini telah diprediksi oleh Bazin jauh sebelum alat yang memadai ditemukan. Dalam esainya yang berjudul “An Aesthetic of Reality,” ia mencatat bahwa “kemajuan teknis di masa depan akan memungkinkan pembuat film untuk menghadapi sifat-sifat yang lebih nyata” (Bazin, 30). Mengenai masalah pengambilan gambar interior yang realistis, Bazin mengatakan bahwa semakin lama, pengambilan gambar interior akan bergantung pada peralatan yang rumit dan kompleks. Baginya, hal ini wajar karena “beberapa ukuran realitas harus dikorbankan demi mencapainya.”

Namun, hal ini tidak menjadi masalah besar dalam film Atambua 39° Celcius, karena film tersebut didominasi oleh adegan eksterior yang diambil dengan pencahayaan alami dari matahari. Penggunaan cahaya alami memberikan nuansa otentik pada latar, membuat gambar terlihat seperti kehidupan nyata. Bagi Bazin, pencahayaan hanya memainkan peran kecil dalam mengekspresikan realisme, karena permainan pencahayaan yang rumit biasanya dilakukan di dalam studio, sedangkan pengambilan gambar dilakukan langsung di lokasi. Oleh karena itu, fokus utamanya adalah bagaimana cahaya matahari ditangkap secara autentik.

Penggunaan lokasi asli dan pencahayaan alami dalam film Atambua 39° Celcius sangat terlihat. Riza menggunakan kedua elemen ini sebagai perangkat untuk menggambarkan latar secara visual yang lebih realistis. Penggunaan lokasi nyata tidak hanya menguntungkan dari segi realisme, tetapi juga memperkuat hubungan saling melengkapi antara setting alami dengan karakter-karakter yang diperankan oleh penduduk lokal.

Subjek Film adalah Kelompok Terpinggirkan

Dalam beberapa esai yang membahas neorealisme Italia secara historis, Bazin menegaskan bahwa keadaan sosial yang tercerabut oleh perang merupakan faktor utama dalam membentuk estetika neorealisme Italia. Meskipun berbentuk fiksi, Bazin mengamati bahwa film-film Italia memiliki “kualitas dokumenter” yang erat dengan realitas sosial yang mereka gambarkan. Representasi yang autentik terhadap realitas menjadi ciri khas dari film-film Italia pada era tersebut.

Dalam esai berjudul Tout film est un documentaire social atau “Every Film Is a Social Documentary” yang diterbitkan pada Juli 1947, Bazin menyatakan bahwa sinema, dalam arti tertentu, tidak bisa berbohong, dan setiap film dapat dianggap sebagai sebuah dokumen sosial. Bagi Bazin, film memiliki potensi sebagai alat dokumentasi yang mampu menggambarkan sensibilitas massa. Film dapat merepresentasikan kondisi sosial dengan jujur dan efisien.

Pandangan Bazin ini selaras dengan tradisi neorealisme Italia yang autentik dalam berusaha menggambarkan sensibilitas masyarakatnya di masa perang. Konteks politik di kota-kota Italia pada masa itu terkait dengan situasi pascakejatuhan fasisme dan dampak buruk perang yang membuat negara terpecah, hancur, dan mengalami kebangkrutan ekonomi. Industri film Italia sendiri mengalami kemunduran akibat hancurnya infrastruktur dan peralatan produksi akibat perang. Film-film neorealisme pada periode ini mengangkat isu-isu yang dekat dengan realitas sosial mereka, seperti kemiskinan, kehidupan sehari-hari, dan pengangguran.

Film Atambua 39° Celcius mengangkat isu-isu yang serupa. Di tanggal 30 Agustus 1999, pelaksanaan referendum Timor Timur dilaksanakan. Pada hari pelaksanaan, situasi relatif aman, namun satu hari setelah itu, terjadi kerusuhan di berbagai tempat. Sejarah mencatat sekitar 1.400 orang menjadi korban tewas dan menyebabkan 300.000 orang harus mengungsi ke kota Atambua (Deutsche Welle).

Film Atambua 39° Celcius mengangkat isu-isu yang serupa. Pada tanggal 30 Agustus 1999, referendum Timor Timur digelar. Saat itu, situasinya relatif aman, namun hanya dalam satu hari setelahnya, kerusuhan meletus di berbagai daerah. Dalam catatan sejarah, korban tewas mencapai sekitar 1.400 orang dan sekitar 300.000 orang terpaksa mengungsi ke kota Atambua (Deutsche Welle).

Film Atambua 39° Celcius sendiri mengisahkan 15 tahun setelah referendum tersebut, di mana Ronaldo dan anaknya Joao adalah dua dari ratusan ribu migran yang berpindah ke Atambua. Sementara itu, istri Ronaldo dan anak perempuannya tetap tinggal di Liquica, Timor Leste. Di Atambua, mereka hidup dalam keadaan miskin. Ronaldo bekerja sebagai sopir bus antarkota, tetapi dipecat akibat masalah alkohol. Sementara itu, Joao, yang kini telah dewasa, bekerja sebagai tukang ojek. Latar sosial ini secara otomatis mencakup semua aspek yang terkait dengan kondisi karakter dalam cerita.

Berdasarkan video di balik layar yang dipublikasikan oleh Miles Films (00:11–02:21), sutradara Riri Riza dengan tegas menekankan “perpecahan sosial” sebagai fokus utama dalam menggambarkan situasi sosial di Kota Atambua. Karakter-karakter dalam film ini merepresentasikan beragam warga Atambua yang terdampak oleh perpecahan tersebut, dan cara mereka bereaksi terhadap kondisi yang ada.

Penggambaran perpecahan secara realistis dalam film Atambua 39° Celcius mencerminkan pendekatan neorealisme Italia dalam menggambarkan hal yang serupa. Baik dalam film ini maupun dalam neorealisme Italia, perhatian utama diberikan pada sensitivitas warga yang menghadapi masa-masa sulit, baik secara sosial maupun ekonomis. Namun, yang membedakan keduanya adalah konteks dari perpecahan yang disajikan.

Mengilhami Kajian Pengaruh Estetika Realisme

Memikirkan film-film modern Indonesia lain yang mungkin memenuhi kriteria estetika realisme Bazin dengan sangat pas, seperti Atambua 39° Celcius, merupakan tantangan yang cukup kompleks bagi saya. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kajian mengenai pengaruh realisme maupun neorealisme dalam perfilman Indonesia, serta minimnya kajian mendalam mengenai film Atambua 39° Celcius itu sendiri. Namun, sebagai penulis, saya berharap bahasan ini dapat menjadi motivasi dan pendorong bagi dunia kajian film Indonesia untuk lebih mengkaji film-film dan topik-topik yang selama ini jarang dibicarakan.

Saya percaya bahwa film-film seperti Atambua 39° Celcius memiliki potensi yang besar untuk menjadi subjek bahasan yang menarik dan bermanfaat dalam konteks studi film. Dengan menganalisis aspek-aspek realisme dalam film tersebut, kita dapat memperluas pemahaman kita tentang perkembangan perfilman Indonesia dan memberikan wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana estetika realisme dapat berperan dalam konteks lokal.

Hasil bahasan ini juga mengungkapkan bahwa puluhan tahun setelah Bazin memperkenalkan konsep estetika realisme, teori tersebut tidak hanya berpengaruh pada film-film modern di Eropa dan Amerika Serikat, tetapi juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam perfilman ndonesia. Hal ini membuktikan bahwa diskusi dan pemahaman tentang estetika realisme perlu diperluas dalam lingkup budaya yang beragam.

Sebagai penggemar film dan peminat kajian film, saya berharap bahwa hasil bahasan ini dapat membuka pintu bagi lebih banyak bahasan yang berfokus pada film-film Indonesia yang memadukan elemen-elemen realisme dengan narasi yang kuat. Dengan demikian, kita dapat menggali potensi kreatif dan artistik perfilman Indonesia lebih dalam lagi, serta meningkatkan apresiasi terhadap keunikan dan kekayaan budaya yang tergambar dalam film-film tersebut.

Dengan semakin banyaknya bahasan dan kajian tentang film-film Indonesia yang berani mengeksplorasi estetika realisme, saya yakin bahwa kita dapat melihat perkembangan yang lebih baik dalam perfilman Indonesia. Saya berharap bahwa hasil bahasan ini dapat mendorong para sineas dan pengamat film untuk terus mengembangkan dan mendalami pengetahuan tentang realisme dalam konteks perfilman Indonesia.

— — — —

Film Atambua 39° Celcius tersedia dalam kanal Disney+ Hotstar di sini

DAFTAR PUSTAKA

Bazin, André. “An Aesthetic of Reality: Cinematic Realism and the Italian School of the Liberation.” What Is Cinema?, First, vol. 2, University of California Press, 2004, pp. 16–40.

— -. “Every Film Is a Social Documentary.” Film Comment, vol. 44, no. 6, 2008, pp. 40–41.

— -. “The Evolution of the Language of Cinema.” What Is Cinema?, vol. 1, Amsterdam University Press, 2005, pp. 23–40.

Deutsche Welle. “Memperingati 20 Tahun Referendum Timor Timur.” dw.com, 30 Aug. 2019, www.dw.com/id/memperingati-20-tahun-referendum-timor-timur/a-50223772.

Footage, Jurnal. “Darah Dan Doa: Cita-Cita Filem Nasional Indonesia*.” Jurnal Footage, 30 Mar. 2011, jurnalfootage.net/v4/darah-dan-doa-cita-cita-filem-nasional-indonesia.

Mellya, Mira Febri. “‘Atambua 39° Celsius’: Trauma Dari Perbatasan.” Perbatasan, 23 Mar. 2012, www.perbatasanindonesia.com/2012/12/atambua-39-celsius-trauma-dari.html

Miles Films. “‘Atambua 39 Derajat Celsius’ Di Balik Layar 3.” IdFilmCenter, uploaded by IdFilmCenter, 8 Nov. 2011, www.indonesianfilmcenter.com/filminfo/detail/619/atambua-39-derajat-celcius.

Noor Iffandy, Arief. “Atambua 39 Derajat Celsius.” Layartancep.Id, 10 Nov. 2012, layartancep.id/review-detail-186-artikel.html.

--

--

Bintang Panglima
Bintang Panglima

Written by Bintang Panglima

An aspiring filmmaker and film writer based in Indonesia. Start a conversation with me through my e-mail: bintangpanglima@gmail.com

No responses yet