Eliana, Eliana: Visualisasi Frustasi Masa Reformasi
Masa reformasi tidak hanya membawa reformasi sosial, namun juga reformasi kreatif. Setelah penggulingan Soeharto, muncul hasrat baru untuk berkarya dengan bebas, kata kebebasan itu menjadi kata kunci yang kemudian dieksplorasi juga secara kreatif. Semangat sosial ini menginspirasi segala sektor untuk berekspresi lebih independen, khususnya di kalangan anak muda yang secara katarsis kini menemukan ruang untuk berkreasi tanpa intervensi pemerintah.
Sejalan dengan semangat baru ini, memasuki Y2K, jumlah produksi film independen melonjak secara pesat. Relatif tersedianya alat-alat pembuatan film dan mulai masuknya teknologi audio-visual digital ke Indonesia mendorong lebih upaya ini. Produksi film kini dapat dilakukan dengan skala dan anggaran yang lebih kecil.
Bersama katarsis dan aksesibilitas ini, tendensi utama yang dilakukan para filmmaker muda adalah untuk menggambarkan situasi sosial yang ada di sekitar mereka. Dalam pendidikan film, hal pertama yang dipelajari adalah bahwa filmmaker yang baik adalah filmmaker yang observatif. Cukup mustahil untuk seorang sutradara seperti Riri Riza yang datang dari sekolah film untuk tidak terinspirasi dari kegentingan sosial yang terjadi di sekitarnya.
Melalui manifesto pemberontakkan kecil yang dijuluki I SINEMA, Riri Riza bersama dua belas penggiat film lain mendeklarasi sebuah komitmen. Dicatat sebagai nomor satu adalah komitmen mereka untuk menggunakan film sebagai “pembebasan ekspresi.” Bila kita kemudian melihat filmografi Riza pada era ini, komitmen itu secara jelas diupayakan.
Film keluaran pertamanya sebagai sutradara dalam kelompok I SINEMA adalah Eliana, Eliana. Sebuah karya film yang dari menit pertamanya saja, dapat dinilai sebagai film yang berupaya menjauhi konvensi umum sinema. Film ini mengutamakan kebebasan berekspresi dan eksplorasi medium. Menggunakan teknologi Kine Transfer yang memindahkan hasil perekaman digital ke pita seluloid, imaji yang dihasilkan sangat grainy dan mencolok.
Kondisi sosial pasca-orde baru disajikan Riza melalui Eliana, Eliana. Pada satu sisi, film ini adalah surat cinta untuk kota Jakarta. Kota dimana manusia dari segala penjuru dapat datang dan mencari kebebasan. Sebuah kebebasan yang terinspirasi dari semangat reformasi. Hal ini digambarkan melalui karakter tituler yaitu Eliana (Rachel Sayidina).
Eliana melarikan diri dari Padang ke Jakarta saat Ibunya (Jajang C. Noer) memaksanya untuk menikah. Dieksposisi melalui superimposisi teks di awal film, backstory singkat ini dapat mencakup kondisi realita sosial yang dimiliki anak muda di Indonesia. Mungkin disaksikan melalui berita dan televisi, Jakarta terlihat sangat memikat hati. Jakarta terlihat seperti kota dimana semua mimpi dapat mulai diraih.
Namun di sisi lain, Riza juga menggunakan film ini dalam menyajikan kebenciannya terhadap terpuruknya kota Jakarta. Bagaimana Jakarta dipenuhi dengan tidak hanya pemimpi, namun juga segala figur-figur laknat yang dengan mudah dapat mematikan mimpi itu. Di awal film, kita melihat Eliana di tahun ketiganya di Ibu Kota, dan dengan mengikuti kesehariannya, kita melihat bahwa wanita ini sedang tersesat, terombang-ambing sukarnya kehidupan Jakarta.
Dualitas cinta/benci ini menciptakan penggambaran yang terasa jujur dan terus-terang. Riza tidak mencoba untuk meromantisi ibu kota dengan segala gedung tinggi, billboard dan lampu kelap-kelipnya, melainkan menyoroti kehidupan kelas bawah dan cara mereka menavigasi kehidupan mereka di tengah keterpurukan sosio-ekonomi negara.
Sepanjang film, tokoh orang Jakarta yang ber-uang hanya digambarkan oleh seorang tokoh bapak-bapak yang diberi nama dalam credits sebagai The Flirty Man 1. Tokoh ini adalah bapak-bapak yang menggoda Eliana saat dirinya makan bakso di pusat perbelanjaan. Tokoh tersebut digambarkan sebagai pria toxic yang mengganggu Eliana melalui tatapan cabulnya. Tokoh ini adalah salah satu upaya Riza dalam menggambarkan outlook sosial kawula muda Jakarta pada masa itu. Tokoh bapak-bapak merupakan amalgam dari frustasi era reformasi terhadap kawula tua yang sudah lama memegang kuasa. Kelompok orang yang melalui semangat anak muda, sudah tidak lagi relevan.
Realita-realita sosial ini divisualisasikan terutama melalui dua elemen sinematis. Pertama secara sinematografis, penggunaan Kine Transfer merupakan hal yang sepenuhnya disengaja. Karakteristik gambar yang tercipta penuh dengan grain dan efek kontras yang mencolok, Secara teknis, kamera juga hampir sepenuhnya handheld dan shakey, dipadu juga dengan pencahayaan yang keras namun simplistik. Riza menghindari efek-efek sinematografis yang terlalu stilistik, melainkan memanfaatkan ketersediaan alat untuk menciptakan imaji yang berusaha mendekati realita.
Secara sinematografis, inspirasi gaya ini dapat ditarik kepada gaya sinematografi gerakan Dogme 95 di Eropa. Hal ini jelas terlihat melalui praktik sinematografinya. Pertama, segala perekaman gambar dilakukan di lokasi (on-location), tanpa alat-alat rumit yang membuat imaji dapat terkesan terlalu artifisial. Kedua, pergerakan kamera dilakukan secara handheld dan hanya membatasi bentuk gerakan yang dapat dicapai dengan gerak tangan. Secara ontologis, gerakan Dogme 95 juga terbit dalam bentuk manifesto, mencerminkan I SINEMA.
Gaya simplistik ini menciptakan penggambaran kota Jakarta yang tulus dan apa adanya. Jakarta tidak dipoles menjadi sebuah kota maju yang memikat, melainkan kota suram, gelap, kacau, dan berantakan. Secara look, penggambaran kota Jakarta sebagai kota yang suram terasa terinspirasi dari sinema Hong Kong yang cukup populer pada masa pembuatan. Film-film Wong Kar Wai seperti Chungking Express dan Happy Together (1997) secara visual dapat terasa inspirasinya dalam film ini. Khususnya dari segi penggambaran kehidupan urban dan pengambilan gambar yang unik dan keluar dari konvensi shot/reverse-shot umum.
Shot tidak diisi dengan gaya lighting konvensional, Riza tidak sungkan menyajikan gambar low-light yang ekstrim. Bahkan dalam beberapa shot, subjek hampir sepenuhnya berada dalam kegelapan, dan background terlihat sangat terang. Selain itu, khususnya dalam adegan malam hari, Riza memanfaatkan lampu-lampu jalanan ke dalam praktik pencahayaan shot, atau dalam beberapa adegan, mencoba mensimulasikan lampu jalanan dengan lampu khusus yang ditembak ke dalam frame.
Penggunaan kamera digital yang berukuran lebih kecil dibandingkan dengan kamera seluloid juga memungkinkan Riza untuk mengambil gambar dari sudut yang mungkin biasanya dihindari. Khususnya dalam adegan mobil, kamera dipasang pada kap mesin mobil, menangkap beberapa angle close-up dari subjek yang duduk di dalam. Bila menggunakan kamera analog konvensional, tipe shot seperti ini biasanya memakan waktu dan anggaran yang besar. Namun, berkat kecilnya kamera digital, tipe shot ini lebih mudah dicapai. Praktik Ini adalah salah satu dari berbagai contoh sinematis yang menggambarkan kecerdikan Riza dalam pengambilan gambar.
Elemen sinematis kedua yang dimanfaatkan Riza dalam memvisualisasikan realita sosial melalui pembebasan berekspresi adalah editing. Elemen ini adalah kode sinematis pertama yang bagi saya mencolok dalam menonton. Dalam hampir semua adegan dialog, dilakukan banyak jumpcut atau lompatan waktu yang tiba-tiba. Dialog Eliana dengan karakter lain, baik itu dengan Ibu, Heni (Henidar Amroe), maupun Ratna (Marcella Zalianty) diisi dengan loncatan-loncatan waktu sepersekian detik antar dialog. Dalam menonton, hal ini sangat membantu dalam merepresentasikan perasaan frustasi dan ketersesatan yang dimiliki karakter.
Jumpcut yang dilakukan di tengah dialog ini secara jelas terinspirasi dari film-film keluaran gerakan French New Wave di tahun 1960-an. Dalam film Breathless, Jean-Luc Godard seorang sutradara keluaran gerakan ini menggunakan jumpcut secara intensif. Dengan sengaja melanggar konsep continuity editing yang merupakan konvensi sinema arus utama. Jenis potongan ini cenderung menarik perhatian penonton dalam melihat film sebagai sebuah medium yang sepenuhnya dikonstruksi.
Bila mencoba mengartikan, mungkin Riza tidak menginginkan penonton untuk tenggelam dalam cerita, melainkan sadar atas upaya-upaya sinematisnya. Di sisi lain mungkin praktik ini adalah sebuah bentuk eksplorasi medium yang tujuannya ditemukan dalam eksplorasi itu sendiri, sebuah ode Riza terhadap semangat eksplorasi Godard dalam French New Wave.
Melalui dua elemen mencolok tersebut, dengan cerita yang dirangkai dengan rekan penulisnya Prima Rusdi, Riri Riza menghasilkan sebuah kapsul waktu kota Jakarta yang baru saja berubah. Sebuah kota Jakarta yang diisi pemimpi, namun terpuruk dengan udara yang dipenuhi frustasi sosio-ekonomi. Riza berupaya untuk menggambarkan Jakarta dengan sejujur mungkin dari sudut pandang yang mikroskopis, melalui satu malam yang dapat mendefinisikan Jakarta secara apa adanya.
Terinspirasi dari sinema internasional, Riza tetap menciptakan sebuah karya yang distingtif. Penggambaran Jakarta dalam film ini sulit ditandingi oleh film-film lain yang mencoba menggunakan ibu kota sebagai latar. Eliana, Eliana merupakan contoh terbaik yang menggambarkan suasana katarsis dan upaya pembebasan ekspresi yang dilakukan filmmaker muda pada masa awal reformasi, menghasilkan karya yang jujur dan indah dalam upaya kejujuran itu.
Artikel ini pertama dipublikasikan pada laman Borobudur Writers & Cultural Festival https://borobudurwriters.id/film/eliana-eliana-visualisasi-frustrasi-masa-reformasi/