Di Balik Instropeksi Audio-Visual Bo Burnham

Bintang Panglima
7 min readDec 8, 2021

--

Pada tanggal 20 Juli 2021, manusia terkaya di planet bumi, Jeffrey Bezos terbang meninggalkan planetnya via roket. Di dalam jarak yang tidak begitu jauh, terdengar gema yang menderu. Lima puluh dua hari sebelum penerbangan yang hanya berlangsung lima belas menit itu, Robert Pickering Burnham merilis karya yang dianggap sebagai magnum opusnya. Melalui kemasan musical comedy-nya yang khas, Burnham menggali suramnya dunia melalui kecemasan pribadinya. Di dalam introspeksi yang terasa sangat pribadi ini, dia menyanyikan nama Bezos lebih dari lima belas kali.

Amateurs, can fucking suck it Fuck their wives, drink their blood Come on, Jeff, get ‘em!

Ejekan ini tidak dinyanyikan tanpa basis, Burnham memetik sosok Bezos (penghobi roket tertajir di dunia) dari puluhan miliarder lainnya sebagai simbol dari kesenjangan kekayaan di dunia yang terus meningkat, bahkan dalam pandemi sekalipun. Burnham secara komikal memposisikan dirinya di sisi Bezos dan berseru hal-hal yang secara gamblang serakah dan rakus.

Inilah lima puluh persen dari keseluruhan gaya komedi Burnham; mengkritik hal nyata yang baginya konyol melalui komedi yang pintar dan menggelikan. Mulai dari orang terkaya di dunia, agama institusional hingga kultur selebriti dikritik melalui cara uniknya.

Lalu apa hubungan komedi beliau dengan sinema? Untuk itu kita harus mundur ke momen dimana Robert berubah menjadi “Bo”, dan bagaimana karirnya yang inkonvensional membuat dirinya sulit dilabeli.

Pejamkan mata dan bayangkan internet pada tahun 2006. Konsep berinternet baru masuk masa keremajaannya. YouTube baru berdiri satu tahun, dengan kreator peringkat pertama memiliki kurang dari 4000 subscribers, bahkan kata “viral” masih hanya merujuk pada virus. Meskipun begitu, dari kamar tidurnya di suburbia kota Hamilton, Massachusetts, Robert Burnham mengunggah video pertamanya yang tidak sengaja viral; “My Whole Family.”

Lagu itu sendiri terasa sedikit outdated bila dibandingkan dengan karya-karya Burnham sekarang, lagu ini terdengar seperti sebuah penyimpangan dari keseluruhan gayanya. Humor dalam lirik lagu terasa cetek dan kekanak-kanakan. Namun ini dimengerti karena sejalan dengan humor juvenile yang sangat trendy pada masa itu.

My whole family now suspects

That watching Spongebob had side-effects.

I’m not gay, and that’s what I said.

If I’m gay, hey God, strike me dead…

Akibat viralitas videonya, Bo Burnham kini sinonim dengan kultur internet. Dalam berbagai pertunjukan komedi kecil-kecilan dirinya dikenal sebagai “that guy from that internet videos”. Di masa yang sama, YouTube mulai berubah menjadi sebuah industri baru, kreator-kreator muda mulai terjun dan berhasil mendapatkan keuntungan. Jendela kesempatan terbuka lebar bagi semua macam kreator, dan Burnham memegang keuntungan besar untuk melanjutkan karirnya di YouTube, tetapi Burnham memilih jalur yang berbeda.

Di Amerika Serikat, komedi memegang bagian besar dari identitas show business. Perjalanan karir komedian dikenal kejam dan penuh dengan keberuntungan belaka. Selama puluhan tahun, jalur untuk merintis karir di dunia komedi hanya dirajai oleh dua pintu; Stand-up dan Improv.

Tidak bermulai dari keduanya, Burnham mendirikan pintu baru di skena komedi. Berawal dari internet, dirinya sudah cukup dikenal oleh para penggemar komedi, namun posisi tepatnya dalam skena yang sudah cukup ramai itu masih membingungkan. Meskipun terasa seperti anomali, akhirnya Burnham memasuki skena komedi Stand-up.

Dikarenakan sudah cukup terkenal, Burnham masuk tanpa mengeluarkan tenaga dan kegesitan yang biasa dikeluarkan komedian seumurnya. Di umur 19 tahun dirinya sudah membuat comedy special dan album. Kesuksesan Burnham diraih dengan cara yang tidak konvensional, sehingga pertanyaan berhak atau tidak berhaknya ia mendapatkan posisi itu menjadi teka-teki baru yang memakannya hidup-hidup selama bertahun-tahun.

Lima tahun setelah merintis karir sebagai komedian dan berhasil keluar dari label YouTube lamanya, Burnham mengalami belasan panic attack dalam melakukan tur pertunjukan. Mencoba menanganinya, kecemasan dan depresi kronis yang ia alami justru dijadikan bagian besar dari pertunjukannya. Burnham mencoba mendekapi keresahan dan kegelisahan yang ia alami dan mengubah mereka menjadi karya yang lebih jujur, kritis dan menggunakan pendekatan yang jauh lebih personal.

Melalui lagu-lagunya, Burnham dengan renyah mengemas penderitaan internalnya ke dalam lirik yang konyol namun menusuk secara mendalam. Burnham membedah dan mencoba mengartikan kecemasannya melalui musik dan lirik. Menggunakan komedi sebagai pengikat perhatian audiens untuk lebih berfokus kepada apa makna dibalik tawa itu.

Oleh karena itu, mencerminkan komedian idola seperti George Carlin dan Tim Minchin, meskipun tetap disebut comedy special, karya Burnham tidak selalu harus lucu. Seperti dalam Make Happy (2016), dimana Burnham terbuka perihal dirinya yang kesulitan menangani segala beban mentalnya sebagai performer. Burnham menjelaskan bagaimana dirinya mulai membenci apa yang ia lakukan, bahkan melihat penonton dan penggemarnya sebagai suatu hal yang destruktif baginya. Make Happy adalah cara artistik Burnham mengumumkan kepergiannya dari dunia pertunjukkan komedi.

A part of me loves you, part of me hates you

Part of me needs you, part of me fears you

And I don’t think that I can handle this right now

Handle this right now, I don’t think that I can handle this right now

Dilihat dan didengar dari pertunjukan panggungnya, Burnham sangat menguasai media audio-visual, maka cukup lumrah bila ia mencoba terjun ke medium film. Di masa hiatusnya dari pertunjukan komedi, Burnham menulis, dan menyutradarai film perdananya, Eighth Grade (2018).

Hiper-realistis, Eight Grade menghindari plot arc yang besar untuk lebih fokus kepada momen-momen kehidupan seorang gadis di pertengahan masa pubertasnya. Dialog yang dirangkai dapat mencerminkan kecanggungan dan kesengsaraan yang dirasakan pada masa itu. Tone yang dirasakan dapat berubah dari manis menjadi perih dalam seketika namun tetap mulus, melukis kembali masa pra remaja yang penuh dengan rasa takut dan malu yang kadang dapat merasa mematikan. Eight Grade adalah hasil dari cara alternatif Bo Burnham mencerna kecemasannya melalui berkarya.

Keremajaan yang menyakitkan sudah menjadi bahasan Burnham dalam pertunjukkan komedinya. Sejak awal, Burnham selalu terbuka terhadap pengalaman masa kecilnya dengan bullying. Hal ini memberikan Eight Grade memiliki perspektif yang jujur dan empatis, tanpa gaya superfisial yang kerap dilihat dalam cara Hollywood mengkarakterisasikan tokoh remaja. Dimana saat banyak orang menilai kultur remaja masa kini malas dan terlalu bergantung kepada sosial media, sebagai orang yang tumbuh bersama internet, Burnham memberikan perspektif yang jujur dan empatis dalam persoalan ini.

Burnham terlihat nyaman dengan babak baru karirnya ini, dimana ia dapat bebas berkarya tanpa harus bertampil di depan orang banyak. Dirinya juga kerap menyutradarai comedy special komedian lain seperti Chris Rock dan Jerrod Carmichael, melanjutkan permainan lighting distingtif dari pertunjukan komedinya.

Perlahan rasa takut Burnham untuk kembali ke atas panggung mulai pudar, berpuncak pada awal tahun 2019 dimana setelah tiga tahun, Burnham merasa siap untuk kembali ke panggung. Namun, di saat dirinya merasa siap untuk tampil didepan orang banyak, orang banyak itu tidak bisa menontonnya tampil. Bersamaan dengan terobosan personal Burnham, pandemi mulai merajalela. Oleh karena itu, merasa terperangkap di rumahnya sendiri, ditambah dengan keinginan batin untuk kembali ke dunia komedi, Burnham memutuskan untuk melakukan suatu hal yang ambisius; menulis, menyutradarai, merekam, dan mengedit sebuah comedy special secara tunggal dari rumahnya.

Well, well, look who’s inside again

Went out to look for a reason to hide again

Proyek yang pada awalnya diperkirakan hanya akan berlangsung selama beberapa bulan, melonggar hingga memakan waktu lebih dari satu tahun. Menyiapkan dan mengatur segala peralatan kamera sendiri, Burnham menciptakan suatu hal yang brilian, menciptakan sebuah potret jujur dari apa yang bisa keluar saat kita sendirian.

Judul “Inside” tidak hanya merujuk pada kegelisahan yang dirasakan saat berisolasi di dalam rumah, namun juga kegelisahan yang dirasakan Burnham di dalam dirinya sendiri. Sepanjang durasi sekitar 90 menit, Inside mencerminkan kecemasan, stress, dan kesendirian yang kerap kita rasakan sepanjang sampahnya tahun 2020. Sekaligus berkomentar tentang kebutuhan obsesif banyak orang untuk terus-menerus menyiarkan isi pikirannya melalui sosial media.

40 menit pertama diisi dengan lagu-lagu yang sudah menjadi ciri-khas Burnham; mengomentari kondisi dunia hari ini dengan kekonyolannya yang distingtif. Lalu, tone yang dirasakan perlahan berubah menuju sesuatu yang jauh lebih gelap. Perlahan kita menyaksikan Burnham tenggelam ke dalam “kegilaannya” sendiri. Rambut dan jenggotnya memanjang sepanjang pertunjukkan. Dirinya mulai agresif dengan alat-alatnya, kamarnya dipenuhi dengan kabel dan segala jenis lampu yang berserakan, lagu yang dibawa mulai tidak utuh, dan bahasannya tambah mengkhawatirkan dan depresif.

Di satu saat dirinya mengungkapkan bahwa pembuatan special ini adalah alasan tunggal yang membuatnya waras dan tidak bunuh diri, kita melihat Burnham kehilangan akal sehat dan jatuh secara mental. Pertunjukan yang sangat-sangat jujur ini mendorong penonton untuk mempertanyakan posisi mereka dalam menonton, memaksakan mereka untuk menemukan titik antara menikmati dan khawatir.

Menciptakan sebuah karya yang normalnya dilakukan secara kolaboratif secara sendirian dapat terasa sepi namun menyesakkan, dan itulah yang kita saksikan dalam Inside. Burnham memaksakan diri untuk berkarya tanpa audiens dan kru. Menjatuhkan mentalnya dalam proses, yang dihasilkan oleh Burnham adalah sublimasi antara entertainment dan home-movie, sebuah potret personal tentang dirinya yang sedang tersesat dalam hidup dan kepalanya sendiri.

Inside memberikan perspektif segar dalam rentetan film yang kerap dijuluki personal cinema, film seperti This is Not a Film karya Jafar Panahi juga mengeksplor penemuan diri dalam isolasi. Namun, Inside memberikan sesuatu yang terasa lebih relevan dan universal. Bagaimana kita secara internal menghadapi pandemi masih merupakan hal yang baru sehingga sulit diartikulasikan. Dalam Inside, Burnham berhasil menangkap segala perasaan rumit itu ke dalam bentuk audio-visual, menerjemahkannya ke dalam rangkaian lagu dan gambar yang sulit diklasifikasikan namun penuh dengan arti dan berdampak secara emosional.

Bo Burnham hidup sebagai anomali diantara dua industri; komedi dan film. Karirnya jauh berbeda dari skema karir sineas konvensional, bahkan untuk menyebutnya sebagai sineas pun terasa tidak laras. Tetapi keliru bila kita tidak mengakui bahwa kehadiran Eight Grade dan Inside merupakan sesuatu hal yang segar dalam sinema. Saya berdoa agar Burnham terus berkarya dalam medium film, namun lebih dari itu, saya berdoa agar dirinya baik-baik saja.

--

--

Bintang Panglima
Bintang Panglima

Written by Bintang Panglima

An aspiring filmmaker and film writer based in Indonesia. Start a conversation with me through my e-mail: bintangpanglima@gmail.com

No responses yet